Tentang Berbagi

Hidup adalah rangkaian perjumpaan. Setiap perjumpaan membawa pengalaman entah berupa pengetahuan, ketrampilan, kebijakan atau apapun itu. Semua adalah sebuah pembelajaran yang layak untuk dibagikan. Berbagi menunjuk pada hati yang penuh syukur. Syukur bukan hanya kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari kebajikan lainnya.(yoesthie_2000@yahoo.com)

SEKADAR KATA

Bagi beberapa orang, berpikiran negatif merupakan kebiasaan, yang sejalan dengan berlalunya waktu akan menjadi kecanduan. Seperti penyakit kecanduan alkohol, berlebihan makan, kecanduan obat terlarang. Banyak orang menderita akibat penyakit ini karena berpikiran negatif akan merusak tiga hal yaitu jiwa, tubuh dan perasaan.(Peter Mc Williams)

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (15)

Tata Ruang dan Tata Laku

Salah satu proses penentuan yang maha melelahkan adalah soal tata ruang. Tarik menarik dalam persoalan ruang memang begitu rumit. Ruang bukanlah lahan kosong dan kering, melainkan tempat dimana berbagai kepentingan yang bisa jadi berlawanan bertarung untuk merebut penguasaannya. Ruang itu sendiri tidak selalu bermakna tunggal, sebab ada ruang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Dalam ruang yang sama semua aspek ini harus dijalankan dan terkadang yang satu mengalahkan yang lainnya. Benar adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa tata ruang itu penting, namun yang jauh lebih penting adalah tata laku di baliknya.

Dalam banyak kasus RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) lebih mencerminkan kepentingan ‘ku’. ‘Ku’ disini merujuk pada tata laku atau kepentingan penguasa dan pengusaha. Ruang yang adalah wilayah publik dibagi-bagi secara ‘sembunyi-sembunyi’ dalam ruang-ruang lobby yang tertutup. Kepentingan yang bisa jadi sesaat dibungkus dengan slogan-slogan pembangunan yang seolah bervisi jangka panjang dan lestari. Tak mengherankan jika kemudian tata ruang tak seiring sejalan dengan kebutuhan masyarakat banyak karena mengacu pada tata laku kelompok tertentu. Banyak pembangunan yang seolah megah tapi tak berguna. Apa urusannya jika kemudian ada jembatan tapi tak ada jalan, ada terminal tapi tak pernah disinggahi oleh kendaraan dan penumpang, ada stadion besar dan megah tapi hanya menjadi tempat kambing merumput.

Tak sulit untuk melihat dan menemukan kesia-siaan dalam ruang publik karena kebijakan tata ruang yang lebih didasarkan pada pengembangan proyek-proyek untuk mengemukkan kantong para pihak yang ber-kong ka li kong. Taman kota disayembarakan, kemudian dibangun tidak berdasarkan desain pemenangnya, alhasil apa yang dimaksudkan sebagai sarana memperindah kota, menjadi tempat warga melepas lelah, mencari angin segar, malah menjadi sarana asyik mahsyuk di malam hari. Perilaku pembangunan yang lepas dari tata nilai, membuat apa yang dimaksudkan sebagai hiasan, solek keindahan kota justru berakhir menjadi persoalan baru. Apa yang dibangun diatas persoalan sebaik apapun tetap akan kembali menjadi persoalan baru. Ruang adalah cermin dari penguasa dan masyarakatnya. Adab yang dibangun dari ruang merupakan penanda siapakah yang meninggalinya dan bagaimana tata lakunya.

Ketika ruang hanya dipahami sebagai pertempuran kepentingan, tempat membangun penanda bagi kenangan kekuasaan, maka akan abai pada aspek lain. Ruang sebagai kepentingan tidak berada dalam tempat yang hampa, ruang berada dalam sebuah lingkungan yang juga mempunyai kebutuhannya sendiri. Bukan hanya masyarakat (manusia), bukan hanya institusi tetapi alam itu sendiri yang butuh keseimbangan agar bisa mengabdikan sumberdayanya bagi kepentingan manusia. Rencana tata ruang dan wilayah, semakin hari kerap semakin abai pada kepentingan ‘planet bumi’. Dokumen tata ruang selalu dihiasi dengan alih fungsi lahan, mengerus ruang-ruang perlindungan, mengerus ruang preservasi, ruang cadangan yang seharusnya disimpan untuk generasi yang akan lahir jauh ke depan.

Nafsu untuk mengeruk, menghabisi apa yang ada sebesar-besarnya hari ini melahirkan rencana-rencana pembangunan yang ibarat bangunan besar nan mewah tapi hampa. Hampa karena menyingkirkan dan mengusur elemen-elemen yang lemah, yang tidak bisa bersuara, yang hanya mengantungkan pada kebaikan penguasa dan pengusaha. Tak heran jika kemudian rencana tata ruang yang menjadi fondasi pembangunan ke depan semakin jauh dari kebutuhan masyarakat, tak mempunyai daya tarik bagi warga kebanyakan karena hanya mencerminkan nilai material yang hanya bisa diakses oleh kelompok yang terbatas.

Kelompok yang bisa ikut memainkan peran dalam proyek pembangunan, mengutip fee dan menunggu bocoran-bocoran. Materialisasi mengeser nilai-nilai yang terkandung dalam tata ruang, sebagai sarana manusia dan sesamanya serta mahkluk lain ‘bertemu’ dalam konteks kehidupan bersama yang saling dukung. Apa artinya pelabuhan samudera nan megah, lapangan terbang berstandar internasiona, perkebunan nan maha luas jika kemudian itu hanya menjadi ‘etalase keponggahan’ dari segelintir pengambil untung yang tega menyingkirkan kepentingan masyarakat banyak. Kebesaran dan kemegahan pembangunan banyak kali hanyalah cermin dari panjangnya janji politik yang tak ditepati, penyelewengan mandat.

Jika dibalik rencana tata ruang tersembunyi politik kepentingan untuk menopang jabatan, mengejar kekuasaan, persekongkolan jahat maka bukannya rencana pembangunan yang tersaji melainkan rencana penghancuran. Penghancuran yang mulai dari riak kecil yang semakin lama semakin bergelombang dan mungkin akan berakhir dengan Tsunami kehancuran peradaban. Masih ada waktu untuk menunda atau bahkan mencegah Tsunami dengan secara terbuka dan jujur membahas Rencana Tata Ruang dan Wilayah kita.

Pondok Wiraguna, 13 September 2012
@yustinus_esha
Baca Selanjutnya.....

HOMECOMING atawa MUDIK

Memasuki masa-masa pertengahan puasa, mulai ramai pemberitaan tentang kesibukan mudik dan segenap romantika (termasuk berita kejahatan terhadap para pemudik). Gerak eksodus ramai-ramai dari kota menuju desa baik secara spontan maupun terorganisir di kala menjelang lebaran menjadi semarak. Tradisi mudik seakan-akan sudah menjadi tradisi nasional bagi masyarakat pencari nafkah yang tercabut dari ‘daerah asalnya’.

Jaring garis keturunan dan segepok rindu pada romantika masa lalu membuat panggilan pulang di kala lebaran bukan sekadar untuk mengucap ‘Minalaidin Walfaizin’ pada orang tua dan sanak saudara di kampung. Mudik di saat lebaran adalah juga masa jeda dari rutinitas kerja keras di tanah rantau. Lari sejenak dari segenap kesibukan untuk kembali pada pelukan ‘tanah asal’. Mudik adalah pernyataan kesetiaan juga kembali memperkuat ikatan kepada mereka yang ditinggalkan.

Bicara mudik tidak sekedar aksi pulang kampung. Mudik juga melahirkan berbagai macam kebiasaan atau ‘tradisi’ lain yang terus berulang dari waktu ke waktu. Jauh sebelum hari mudik tiba, loket kereta api sudah dijubeli para pengantri. Yang turut berdesakan ternyata bukan cuma calon pemudik, melainkan juga calo-calo tiket dan termasuk pula para pencopet dompet. Tradisi mumpung memang tumbuh subur menjelang hari lebaran. Pemudik adalah orang yang berada dalam kondisi ‘kepepet’ . Maka biarpun harga karcis mahal dan sulit dicari, tetap akan dibelinya.

Di negeri ini aneka kesulitan seperti ini terus berulang bahkan cenderung menjadi sebuah ‘keajegan’. Mudik bukanlah tradisi yang baru lahir kemarin sore, akan tetapi ketika saat mudik tiba, mereka para pemudik selalu menghadapi kesulitan yang sama. Janganlah bicara soal kenyamanan saat pulang mudik, sebab hal dasar macam keamanan saja sulit untuk dipenuhi. Perhatikan saja berita kriminal di televisi, pemudik yang menjadi korban kejahatan mulai berjatuhan. Begitu mengenaskan perjalanan penting dan membahagiakan harus berakhir dengan nestapa. Bagi sebagian besar pemudik, pulang kampong selain karena alasan ‘laku religius’ juga untuk menunjukkan bahwa mereka masih ‘ber-ada’. Apapun yang mereka bawa semua dikumpulkan sedikit demi sedikit bahkan kerap mengorbankan ‘kebutuhan’ diri mereka selama di rantau.

Pemudik dengan ‘kelebihan’ yang dikumpulkan dari kekurangan memang kerap menjadi obyek dari banyak pihak. Dan ‘kelebihan’ itu mulai digerogoti oleh berbagai pihak sejak dari awal perjalanan mereka hingga menginjakkan kaki di kampung halamannya. Ada banyak cara mulai dari yang paling halus sampai paling kasar untuk ‘merampok’ barang atau harta bawaan kaum pemudik.

Mudik sejatinya memang perlu ongkos dan semua itu pasti disadari oleh semua orang. Namun ada banyak hal yang mestinya tidak selalu berulang setiap tahunnya. Betapa menyedihkan jika niat sebagian besar orang untuk merengkuh kebahagiaan harus berakhir dengan nestapa. Sebagaian besar pemudik adalah orang-orang yang tidak tentu mampu mengecap kesenangan dalam kehidupan sehari-harinya. Maka mestinya pihak-pihak yang terkait dengan aktivitas mudik ini tidak mengambil sikap ‘aji mumpung’ untuk menguras uang para pemudik. Para pihak yang bertanggungjawab untuk membantu kelancaran dan kenyamanan pemudik hendaknya juga mulai mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan tidak mulai sibuk saat menjelang lebaran tiba.

Mudik adalah sebuah realitas tahunan yang akan terus berulang. Namun kejengkelan, kepenatan dan kesedihan yang kerap menyertainya mestinya tidak harus terulang dan menjadi kebiasaan. Meski banyak yang berkomentar bahwa mudik adalah aktivitas kampungan, bisa dipastikan andai Decartes tinggal di negeri ini maka dia akan mengatakan ‘mudiko ergo sum’. Saya mudik maka saya ada.
Baca Selanjutnya.....

HIDUPPUN BERGANTUNG PADA ALAM

Gunung Empung adalah sedikit dari kawasan yang masih menyisakan hutan alami di Sulawesi Utara. Lansekapnya berupa daerah berbukit-bukit yang sangat beragam dari sedang-terjal-sangat terjal dan beragam pula formasi ekosistem yang membentuknya. Rasanya tak cukup waktu seharian untuk menguras kisah dibalik eksotika alam kawasan ini. Paduan aneka flora dan fauna serta kondisi bentang alamnya mengambarkan dinamika dan semangat masyarakat yang memanfaatkan kawasan ini untuk merajut kehidupan. 
Pakewa, nama hutan di Gunung Empung adalah lahan kehidupan bagi Blasius Polakitan atau biasa dikenal sebagai om Atik (57 thn) . Bapak 8 anak ini selama 35 tahun lebih dengan kaki telanjang setia menyusuri jalanan sempit berliku dan sesekali berada di bibir jurang untuk mencari Tompil (rotan jenis sedang) sebagai bahan kerajinan tangan masyarakat Kinilow.
Pekerjaan mencari rotan bagi om Atik dan puluhan warga lainnya, adalah warisan dari moyang mereka. “Pekerjaan inilah yang menopang kehidupan keluarga dan sekolah anak-anak” tukas kakek 5 cucu ini. Rotan tetap tumbuh dan tersedia karena para pencari rotan terus mengingat nasehat para tetua agar tidak sembarang memotongnya. “Potong yang benar-benar sudah siap untuk dipotong”, terang om Atik. “Orang tua dulu berpesan bahwa kalau ba potong inga itu anak-cucu”, katanya lebih lanjut.
Dan nyatanya meski bertahun-tahun terus diambil sampai sekarang Tompil masih gampang ditemui. “Dari dulu juga cuma disitu-situ saja, nyanda jauh masuk ke dalam”, paparnya. Namun seiring dengan waktu, sebenarnya mulai terlintas dalam benak om Atik untuk melakukan budidaya rotan di lahan perkebunan. “Sebenarnya itu rotan boleh ditanam, karena rotan bisa berbunga dan keluar buah untuk dibuat bibit; tapi memang jarang mo ketemu buah rotan itu”, katanya lebih lanjut. 
Membudidayakan rotan memang sudah saatnya untuk dipikirkan. Jika tidak maka makin lama kebutuhan para pengrajin tidak akan terpenuhi. Tapi om Atik tetap menyakini bahwasannya dengan mengikuti dan menghormati nasehat para tetua, maka alam akan tetap menyediakan apa yang dia butuhkan.
Bagi om Atik, hutan Pakewa tak sekedar menyediakan rotan tetapi juga aneka sayuran seperti sayur paku, koles dan rebung dan atau kebutuhan lauk pauk berupa tikus putih, kelelawar, kodok, udang dan lain-lain. Hutan tetap menyediakan berbagai hal, manakala kita tak kelewatan mengambilnya. “Dan ingat apa yang tidak boleh diambil baik karena nasehat para tetua atau aturan pemerintah ya harus dibiarkan saja, meski kita melihat atau menemuinya. Kalau torang ingin tetap mengambil hasil dari alam maka torang juga mesti menjaga kelestariannya”, pesan om Atik saat akhir perbincangan.

Baca Selanjutnya.....

MENGANYAM ASA MENUJU HUTAN LESTARI

Dalam zaman kegelapan, tetap ada juakah orang yang bernyanyi?. Ya, ada orang yang akan bernyanyi : Nyanyian tentang zaman kegelapan. Sebaris puisi karya Bertold Brecht ini bagus untuk menggambarkan permasalahan hutan yang kini tengah berada dalam ‘jaman kegelapan’.
Bagi masyarakat sekitarnya, hutan sejak semula sudah menjadi komponen penting dari strategi penghidupan mereka. Beberapa hasil hutan dalam bentuk produk non kayu baik mentah maupun olahan telah berkembang menjadi komoditi yang dicari dan popular di pasaran (marketable). Namun perubahan paradigm soal hutan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi di masa rezim orde baru dan tetap diteruskan sampai saat ini, memindahkan penguasaan dan pengelolaan hutan pada investor yang bermodal kuat. Akibatnya perlahan-lahan produk hutan non kayu dan masyarakat sekitar hutan menjadi tersingkir dan kurang diperhitungkan lagi. 
Kebijakan yang berpihak pada modal dan pengelolaan yang serampangan mengakibatkan sebagian besar wilayah hutan berada dalam kondisi ‘nestapa’. Bencana akibat kerusakan hutan mulai dituai dimana-mana. Maka menguatkan dan meningkatkan perhatian pada pemungutan dan pengembangan pemasaran hasil hutan non kayu bisa menjadi perangkat pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang ramah lingkungan agar hutan tetap lestari. 
Puluhan keluarga perajin anyam-anyaman dan mebelair di desa Kinilow bisa menjadi cermin perihal bagaimana mendayagunakan produk hutan non kayu seraya menjaga keajegan persediaannya. Ibu Lenny Manoppo (42 th) seorang perajin dan sekaligus pemilik kios kerajinan tangan memberi sebuah kesaksian. Sepulang dari ‘belajar’ di Yogyakarta, penggunaan bahan kerajinan menjadi lebih efektif. “Dulu torang kalau pakai buluh cuma ambil depe kulit, maar sekarang depe daging torang so pakai juga sehingga nyanda banyak yang tabuang parcuma” katanya.
Peningkatan ketrampilan dan wawasan membuat para perajin mampu melakukan inovasi produk sesuai tuntutan dan tren jaman. Hendrik Runtulalu (64 th) yang sudah 20-an tahun berjualan mengungkapkan bahwa kini banyak juga rumah makan dan hotel yang mengambil produk kerajinan berupa kap lampu hias dan aneka anyaman untuk menyajikan buah-buahan dan makanan lainnya. 
Kunci dari efektifitas pemakaian bahan yang berasal dari hutan adalah dengan memadukannya. Setiap produk tidak dibuat dengan bahan tunggal melainkan campuran. Rotan misalnya hanya dipakai untuk bahan pemanis tampilan dan penguat ikatan. Hal ini telah dipraktekkan oleh ibu-anak, Yull Polakitan (51th) dan Angky Nangka (25 th) yang menekuni pembuatan mebelair bambu dan pernak-pernik anyaman untuk keperluan aksesori rumah.
Kawasan hutan di pengunungan termasuk ekosistem yang ringkih (fragile ecosystem) dan juga amat sensitive sehingga pola pemanfaatannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Masyarakat Kinilow dan sekitarnya membuktikan bahwa mereka mampu memanfaatkan hutan di Gunung Empung secara lestari (sustain mountain development) berbasis pada kesadaran komunal mereka. Sistem pengelolaan tradisional ini tidak akan cukup untuk memastikan kelestarian hutan di Gunung Empung pada masa mendatang. Pemerintah perlu member dukungan politik yang kuat untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan jasa-jasa lingkungan yang diturunkan oleh kawasan ini, sembari tetap memenuhi aras keadilan ekologis, ekonomi, budaya dan social masyarakat di sekitarnya.

Baca Selanjutnya.....

ERAU : Pergulatan Kuasa dan Budaya

Bicara kala ini, kita tengah menikmati dan menghadapi gempuran budaya pop yang tak henti-hentinya tersaji mulai dari dalam rumah sendiri. Anak, remaja dan pemuda adalah konsumen terbesar yang melahap sajian itu serta berlomba untuk mengikuti trend yang disebar lewat film, musik, komik, kartun, novel, buku, pertunjukan seni, internet dan lain sebagainya. Dalam narasi besar banyak yang menyakini bahwa kini tengah terjadi adalah sebuah perang peradaban. Maka tak perlu heran jika Bith, seorang pemuda yang tinggal dan tumbuh di Desa Budaya Lekaq Kidau menceritakan betapa sulit baginya untuk memainkan Sampek (gitar Dayak) karena notasinya tidak benar-benar jelas baginya. Lain halnya dengan gitar biasa, kalau melodi macam lagu-lagu Peterpan, Radja dan Samsons akan dimainkannya nyaris tak berbeda dengan permainan grup aslinya. Hasilnya, kesenian dan budaya tradisional semakin tersisih dan tidak merangsang minat anak-anak muda untuk mengelutinya.

Di balik itu kesadaran untuk terus menjaga warisan seni budaya leluhur sebenarnya juga tidak pernah redup. Niat, semangat dan komitment dengan gampang didengar lewat segenap pidato, visi-misi dan program berbagai pihak. Dokumentasi juga terus dilakukan dan panggung untuk mementaskannya juga disediakan. Erau, yang pada awalnya adalah peringatan untuk merayakan naik tahtanya sang Raja, kini dikenal sebagai festival tahunan yang menjadi panggung pentas pertunjukkan berbagai kesenian yang berlatar belakang budaya suku dan sub suku yang tinggal di wilayah Kutai Kartanegara, mencoba untuk terus bertahan meski masa depannya masih tampak buram.

Erau dan Kutai Kartanegara
Erau dan Kerajaan Kutai Kartanegara bagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Erau untuk pertama kali dilaksanakan dalam bentuk upacara tijak tanah dan mandi ke tepian untuk Aji Batara Agung Dewa Sakti pada usianya yang ke 5. Dia inilah yang kemudian menjadi menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325). Penobatan Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja juga diadakan lewat upacara Erau. Sejak saat itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan Raja-Raja Kutai Kartanegara. Dalam perkembangannya upacara Erau juga diadakan untuk pemberian gelar dari Raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap Kerajaan.

Selain sebagai upacara kerajaan, istilah Erau sebenarnya juga dipakai atau dikenal sebagai sebutan acara atau ritual dalam kehidupan berbagai suku ’asli’ di pulau Kalimantan. Di Kota Bontang, warga Guntung secara rutin mengelar Erau Pelas Banua. Menurut sejarahnya Erau Pelas Banua ini telah dilaksanakan sejak jaman pemerintahan Sultan Sulaiman XVII. Dalam tradisi masyarakat Dayak juga dikenal perayaan Erau atau Pelas Tahun. Masyarakat Tunjung Benuaq menyebutnya sebagai Nggugu Tahun. Dan kini perayaan semacam ini dilaksanakan setiap tahun di Kabupaten Kutai Barat yang ditandai dengan upacara penombakan kerbau. Masyarakat Kabupaten Berau juga mengenal perayaan semacam Erau yang disebut dengan Birau.

Kembali kepada Erau dan keterkaitannya dengan Kutai Kartanegara, Halimi Hadibrata, dalam studinya atas naskah Salasilah Kutai menemukan dan menyimpulkan bahwa tradisi Erau dalam Kerajaan Kutai Kartanegara menunjukkan jenis-jenis upacara adat yang terdiri atas :
• Upacara sepanjang hayat yang berkaitan dengan fase peralihan dan penyatuan hidup individu sejak kelahiran sampai dengan kematian.
• Upacara adat kerajaan yang berkaitan dengan kepemimpinan dan kemakmuran

Dengan demikian upacara Erau mempunyai dua domain yakni domain individu dan publik. Pada wilayah individu adalah upacara adat yang berkaitan dengan fase hidup sepanjang hayat terdiri atas : Upacara adat kelahiran , upacara adat turun ke tanah dan mandi di sungai, upacara adat pemberian gelar kehormatan, upacara adat perkawinan dan berbelian dan upacara adat kematian. Sementara pada wilayah publik, upacara adat kerajaan adalah upacara kenaikan tahta dan kemudian juga pemberian gelar kehormatan.

Erau versi kerajaan inilah yang amat populer atau dikenal luas oleh masyarakat baik di dalam maupun diluar Kalimantan Timur. Sehingga seolah-olah Erau identik dengan perayaan adat di Kabupaten Kutai Kartanegara semata. Hal mana bisa dimaklumi karena Erau Kerajaanlah yang menyertai Kerajaan Kutai Kartanegara mulai dari tumbuh kembangnya sampai pada peralihan kekuasaan dan bahkan sampai saat ini.

Sejarah Erau dan Kutai Kartanegara yang tak terpisahkan itu, sama-sama membawa jejak-jekak percampuran budaya (Multikultural Purba). Dlam paparan lebih lanjut, Halimi mengungkapkan, baik dalam Erau maupun kerajaan sekurang-kurangnya bisa ditemukan 3 pengaruh kebudayaan yaitu :
• Kebudayaan Hindu India termasuk kepercayaan lokal (animisme dan dinamisme).
• Kebudayaan Hindu Jawa (Majapahit).
• Kebudayaan Islam (Melayu, Bugis, Banjar).

Keragaman atau percampuran memang melekat dalam cerita sejarah atas asal-usul berdirinya kerajaan Kutai Kartanegara. Baik dalam dokumen lama (purba) maupun telaah para ahli sejarah. Memang tidak ada cerita tunggal tentang kemunculan kerajaan Kutai. Ada catatan yang mengkaitkan kemunculan Kerajaan Kutai Kartanegara dengan pelarian dari Kerajaan Singosari, namun ada juga yang menghubungkan dengan Kerajaan Majapahit yang menempatkan otoritas kekuasaan di daerah taklukan. Dalam catatan berikutnya Kerajaan Kutai Kartanegara berhasil menahklukan dan mengambil alih simbol-simbol serta kekayaan Kerajaan Kutai Mulawarman. Kerajaan Kutai Mulawarman adalah kerajaan Hindu tertua yang jauh lebih dahulu ada di wilayah Kalimantan. Pada masa-masa akhir, kerajaan ini sempat hidup berdampingan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang baru berkembang.

Fenomena percampuran dalam Kerajaan Kutai Kartanegara terus berlanjut dalam bentuk ’perkawinan politik’. Hal ini dilakukan oleh calon raja atau raja itu sendiri dengan puteri dari Kutai Mulawarman, Kerajaan di Sulawesi Selatan, Pasir dan lain sebagainya. Tentu ini semua membawa pengaruh dalam dinamika kehidupan maupun kebudayaan keraton. Dengan demikian jika Erau dikaitkan dengan Kutai maka akan berdimensi banyak. Kutai bisa dalam arti wilayah kekuasaan, wilayah kebudayaan dan Kutai sebagai wilayah etnisitas. Maka Erau sebenarnya sebuah realitas kompleks baik dari sisi kontinuitas maupun diskontinuitas dalam perjalanan sejarahnya.

Teater Hitam Putih
Ada banyak versi tentang Erau. Namun sebagai sebuah perayaan publik, Erau sebagai mana dituliskan oleh Drs. Aji Surya Dharma berasal dari bahasa Kutai ’eroh’ berarti ramai, riuh atau suasana yang penuh sukacita. Secara singkat upacara Erau yang pelaksanaannya dilakukan oleh kerabat Keraton dengan mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat (petinggi) yang mengabdi kepada kerajaan. Mereka datang dari seluruh pelosok wilayah kerajaan dengan membawa bekal bahan makanan, ternak, buah-buahan, dan juga para seniman. Dalam upacara Erau ini, Sultan serta kerabat Keraton lainnya memberikan jamuan makan kepada rakyat dengan memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih Sultan atas pengabdian rakyatnya. Dalam entri kamus Bahasa Indonesia, Erau diartikan sebagai acara adat di Kutai Kartanegara. Sementara itu Johansyah Balham dalam cerita roman sejarah ”Runtuhnya Martadipura” (tahun 2003) menyebutkan Erau sebagai sebuah pesta yang ditunggu-tunggu. Hari-hari itu segala bentuk ketangkasan (judi) dan minuman keras seperti dibebaskan. Pemuda-pemudi banyak memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari dan memadu cinta.

Erau memang tidak berdimensi tunggal. Masing-masing kelompok masyarakat mengartikan berdasarkan perspektif dan kepentingan mereka. Namun Erau pada wilayah public sebenarnya lebih mengacu pada rangkaian upacara untuk penobatan raja. Dalam Salasilah Kutai susunan atau rangkaian acara Erau untuk penobatan raja digambarkan sebagai berikut :
• Hari pertama : Upacara menjamu Benua (kota). Maksud dari upacara ini adalah untuk memanggil Sang Hiyang-Hiyang (yang berada di kayangan dan berjumlah 37) untuk diminta doa restunya agar acara berjalan lancar tanpa halangan.
• Hari kedua : Acara beredar. Para belian dan pangkoan diikuti oleh seorang kepala adat akan berjalan keliling ruangan dalam kenatan sebanyak tujuh putaran.
• Hari ketiga : Upacara mendirikan ayu. Perlengkapan ayu diletakkan diatas butiran beras (beras tambak karang) warna-warni dan dihias dengan daun enau, daun kelapa dan lain-lain. Malamnya diadakan acara menjoget dan tari ganjur yang diikuti tamu serta raja. Setelah itu ada upacara naik ayu dan kemudian upacara gajah rendu. Terakhir para petinggi akan ke pinggiran sungai Mahakam untuk mengambil air tuli. Air yang ditaruh dalam guci ini akan disimpan dalam ruangan upacara. Raja berada paling depan dalam iringan untuk membawa air dari sungai ke ruang upacara.
• Hari keempat, kelima dan keenam : Mengulang upacara hari ketiga.
• Hari ketujuh : Upacara pengambilan air di Tanjung Riwana dipimpin seorang belian. Air ini kemudian disatukan dengan air tuli. Setelah itu ada pesta semalam suntuk diikuti seluruh hadirin (pria dan wanita). Sambil menari-nari mereka saling melempar beras. Acara meriah ini dihentikan saat fajar menjelang dengan upacara menjala hingga fajar menyingsing.
• Hari kedelapan : Upacara berjerak. Seekor ayam dipotong diatas kepala raja, darah ayam kemudian disebar diatas tanah. Ini yang disebut dengan memelas bumi tujuannya agar negeri makmur, tanaman subur, rakyat sejahtera. Lalu dilanjutkan dengan upacara Berumban. Raja dengan badan diselubungi kain kuning dikurung dalam gulungan tilam. Raja akan bergerak dalam beberapa posisi yaitu hadap kiri, kanan dan terlentang. Pada setiap posisi tubuh Raja akan dielus-elus dengan mayang tertundun sebanyak tujuh kali dari kepala ke kaki dan sebaliknya. Setelah itu Raja akan dimandikan pada balai di pinggir sungai. Malam harinya Raja akan dipelas dengan tepung tawar dengan disaksikan para undangan, petinggi dan rakyat seluruh negeri Kutai Kartanegara. Saat itu Raja akan menegaskan kepemimpinannya dengan mengatakan ”Hai, orang Kutai akulah Rajamu”. Ucapan ini disambut oleh semua yang menyaksikan dengan mengatakan ”Pakulun patik Aji”. Dan dengan demikian selesailah rangkaian upacara Erau selama delapan hari.

Esok harinya Raja akan bertahta dan kemudian menerima sembah setia dan ucapan pamit dari seluruh petinggi dari daerah kekuasaannya. Dalam kesempatan ini Raja kembali meminta kesetiaan tanpa syarat kepada para petinggi dengan mengatakan ”Hai para orang tua-tua dari sepuluh negeri, meskipun binimu sendiri, kalau aku benci kepadanya, maka awakpun harus benci kepadanya”. Ucapan ini dijawab oleh para petinggi dengan kalimat ”Kaula nuwun patik Aji, pakulun patik aji”.

Setelah itu Raja akan dipelas oleh saudara putrinya. Raja kemudian turun dari tahtanya menuju guci yang berisi campuran air tuli dan air tanjung riwana. Raja kemudian membasuh muka, meminum dan berkumur-kumur lalu disemburkan kepada saudara putrinya. Selanjutnya saudara putrid akan berjoget diiringi dengan sorak sorai hadirin. Raja kemudian akan ditandu dan dibawa keluar keliling lapangan sebanyak tujuh kali untuk ditunjukkan pada rakyatnya. Setelah itu para hadirin dan petinggi akan meninggalkan paseban dan pulang ke daerah masing-masing.

Rangkaian upacara dan kegiatan selingan dalam acara penobatan raja ini menimbulkan keramaian dan keriuhan. Keramaian karena ada banyak orang berkumpul di pusat kerajaan. Keramaian itu semakin meriah dengan aneka pentas kesenian, adat dan budaya dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada di wilayah kekuasaan kerajaan. Suasana keramaian dan pesta inilah yang kemudian tertanam dalam benak dan ingatan masyarakat. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan Erau sebagai sebuah perisitiwa sosiopolitik sebagai mana diungkapkan oleh Roedy Haryo AMZ, organik dan pemerhati kebudayaan Kalimantan Timur. Dalam keterangannya dijelaskan bahwa konteks perayaan Erau adalah kepentingan politik rezim penguasa. Erau dimaksudkan untuk menjadi penanda legitimasi penguasa, dimana dari sana bisa diukur sejauh mana seorang penguasa (Raja/Sultan) diterima oleh rakyatnya. Partisipasi masyarakat, kedatangan para petinggi dari berbagai kelompok masyarakat (puak) menjadi perlambang diterimanya kepemimpinan penguasa saat itu oleh mereka. Dalam Salasilah Kutai diceritakan bahwa Erau merupakan kesempatan pertemuan antara Raja/Sultan dengan para petinggi dari wilayah-wilayah yang termasuk dalam kekuasaannya. Pada kesempatan itu akan disampaikan permintaan, petunjuk dan arahan dari sang raja. Apapun titah dan keinginan sang raja harus dituruti.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh Roedy Haryo AMZ, Halimi Hadibrata menambahkan bahwa petinggi-petinggi daerah datang bersama rombongan seraya membawa bekal dan sesembahan untuk Raja (upeti). Dengan demikian keramaian sendiri bukan diciptakan oleh Raja dan Kerabatnya. Suasana ramai karena para petinggi datang dengan rombongan besar dimana didalamnya termasuk para pemasak dan kelompok seniman. Raja menyediakan tempat dan kesempatan di sekitar istana agar rakyat bisa berkumpul dan bergembira bersama. Pemberian dan ijin menyangkut tempat dan kesempatan dari Raja inilah yang kemudian dianggap oleh rakyat sebagai tanda kebaikan, keramahan dan keterbukaan Raja beserta kerabatnya terhadap masyarakat umum (biasa). Citra pembauran Raja dan kerabat dengan rakyat pada perayaan Erau terus direproduksi sampai saat ini.

Padahal jika kembali pada penjelasan Roedy maupun Halimi, jika Erau diibaratkan sebagai sebuah dialog kekuasaan, maka Erau merupakan bentuk dialog yang searah. Keterlibatan masyarakat atau rakyat dalam perayaan itu adalah keterlibatan pasif, mereka datang sebagai penonton, pengembira atau pengisi acara. Kembali pada asalnya Erau pada dasarnya adalah perayaan keraton atau adat istiadat/tradisi Kutai dari golongan bangsawan (dalam keraton) yang dirayakan secara publik. Kenyataan seperti ini oleh Cliffords Geertz disebut dengan istilah ’negara teater’, dimana kekuasaan ditegakkan lewat upacara-upacara, seni pemujaan dan produksi aneka simbol yang melegitimasikan raja dan istana sebagai pusat dari tatanan/hirarki kosmos. Secara singkat Geertz mengambarkan sebagai berikut :

Kehidupan ritual keraton – upacara-upacara massal, kesenian yang sangat halus, tata krama yang sangat rumit – tidak selalu merupakan hiasan kekuasaan melainkan merupakan substansinya. ........ Ibukota merupakan panggung sandiwara dimana para agama dan kaum bangsawan dengan dipimpin oleh raja, tak henti-hentinya memamerkan upacara yang megah dimana rakyat bertindak sebagai penonton, pembawa tombak dan sekaligus melalui upeti dan kerja bakti yang wajib ia berikan, sebagai sponsor.

Kembali ke Salasilah Kutai. Pada jaman-jaman awal penduduk atau masyarakat yang mendiami wilayah kerajaan Kutai tidak dibeda-bedakan atau semua disebut sebagai orang Kutai. Atau penyebutan lain yang mengacu pada nama tempat atau daerah aliran sungai. Dalam persoalan adat, kerajaan waktu itu juga mengakui dan menghormati adat dari kelompok masyarakat di sebuah tempat. Hal mana tampak dalam pasal 7 kitab Panji Selaten yang disebut adat adalah sesuatu yang berlaku di suatu kaum (masyarakat) dan daerah, seperti adat daerah Modang, Bahau, Tunjung, Banua, Basap dan sebagainya. Pembedaan penyebutan dan perlakuan baru muncul kemudian dalam Kitab/Undang-Undang Baraja Niti. Perbedaan penyebutan dan perlakuan ini didasarkan oleh sistem kepercayaan atau agama. Islam saat itu menjadi agama ’resmi’ kerajaan. Maka siapa yang tidak memeluk Islam akan mendapat perlakuan diskriminatif sebagaimana terlihat dalam pasal 14 yang berbunyi : Jika membunuh Islam, dibunuh pula kafir itu; kalau dibandingkan dengan pasal 16 yang berbunyi : Kalau Islam membunuh kafir, tiada harus dipulihkan melainkan didenda atasnya. Pembedaan yang mulai muncul dari syiar agama Islam kemudian semakin diperkuat oleh konstruksi yang dibangun oleh bangsa Kolonial. Demi kepentingan menguasai sebagian wilayah Kutai maka mereka menciptakan penyebutan istilah pedalaman dengan segala stereotype dan stigmatisasinya. Tujuannya adalah agar Kerajaan melepas wilayah ’sulit’ itu untuk berada dalam pengaturan kolonial dengan sedikit kompensasi untuk dibayarkan kepada kerajaan.

Pengaruh syiar agama Islam, politik kolonial dan kemudian juga misi Kristen membuat masyarakat Kutai kemudian terkotak-kotakkan baik dalam kategorisasi berbau etnis, agama dan geografis dengan segenap variannya. Mulai muncul istilah Kutai/Melayu/Halo’ vs Dayak, Islam vs Kafir, Islam vs Kristen , juga istilah pesisir vs pedalaman. Kategorisasi seperti ini kemudian menjadi penanda dalam perihal kebudayaan dan kesenian. Di mana dalam pentas perayaan Erau dan pentas-pentas lainnya muncul istilah :
• Seni Budaya Pesisir.
• Seni Budaya Pedalaman.

Selain dua kategori diatas muncul pula kategori Seni Budaya Keraton. Dan tentu saja dibanding dengan dua kategori diatas seni budaya keraton yang dipandang sebagai seni kelas tinggi, halus dan tidak sembarang untuk ditampilkan. Istilah seni keraton merujuk pada jenis kesenian (dan kebudayaan) yang bertumbuh dalam lingkungan keraton atau kelompok bangsawan. Sedangkan istilah pesisir dan pedalaman lebih merujuk pada geografi dan sistem religius masyarakatnya. Kesenian pesisir adalah jenis-jenis seni budaya yang tumbuh dalam kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai suku Kutai. Seni budaya mereka bercorak melayu atau bernafaskan Islam. Sementara istilah kesenian pedalaman disematkan kepada kelompok masyarakat yang disebut sebagai orang pedalaman atau suku Dayak. Seni budaya mereka dianggap berbaur dengan kepercayaan animisme dan dinamisme meski sebagian besar kemudian memeluk agama Kristen.

Dalam perayaan Erau, ketiga kategori kesenian ini selalu ditampilkan bersama meski dalam tempat yang berbeda. Akan tetapi adat, tradisi dan kebudayaan keratonlah yang utama atau masuk sebagai acara inti. Sementara kesenian kelompok pesisir dan pedalaman masuk dalam kategori acara tambahan, yang sifatnya tidak mutlak artinya jika ditiadakan tidak mempunyai konsekwensi apa-apa terhadap jalannya Erau.


Alih Kuasa
Dalam keterangan lebih lanjut, Aji Surya Dharma menuliskan sejak tahun 1971 Erau bukan lagi merupakan upacara adat kesultanan sebab pelaksanaan telah diambil alih oleh pemerintah daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Erau mulai saat itu dirayakan sebagai bagian peringatan HUT berdirinya Kota Tenggarong yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Kutai Kartanegara. Erau sebagai adat keraton (jaman kerajaan/kesultanan) yang telah mentradisi selama berabad-abad sebenarnya memang telah berakhir dengan ditetapkannya Kutai Kartanegara sebagai daerah tingkat II (Kabupaten). Dalam konteks pemerintah daerah Erau kemudian dipandang sebagai alat atau sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya, pembinaan dan pengembangan kesenian daerah sebagai bagian dari khasanah budaya nasional. Masuknya Erau dalam ‘calendar event’ pemerintah daerah secara otomatis akan merubah kepentingan, tekanan, nilai-nilai spiritual dan ritualita perayaan Erau itu sendiri.

Peralihan Erau ke tangan pemerintah daerah tentu saja bukan tanpa sebab. Pemerintah daerah mempunyai kepentingan untuk mengenggam Erau dalam tangan ’kekuasaan’ nya. Sebab selama berabad-abad Erau identik dengan Kerajaan/Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Erau merupakan tanda hubungan antara wilayah kekuasaan dan rakyat dengan Raja/Sultan. Dengan dilaksanakannya Erau oleh pemerintah daerah, maka bukan hanya riwayat Kerajaan/Kesultanan yang tamat melainkan juga hubungannya dengan rakyatpun habis sudah.

Kondisi seperti ini pernah dipertanyakan oleh Bihaddy Arss (alm), seorang spiritualis yang bergelar Raden Setia Sentana yang menilai perayaan Erau dalam rangka HUT Kota Tenggarong kurang memberi perhatian pada acara adat. Akibatnya perhatian masyarakat lebih kepada acara opening ceremony. Baginya perayaan Erau model seperti ini merupakan kekeliruan yang harus diluruskan dengan mengembalikan menjadi perayaan Erau adat yang sebenar-benarnya.

Penilaian Bihaddy Arss ini menarik untuk ditelaah lebih jauh menyangkut apa yang dimaksud dengan Erau Adat?. Jika dilihat perayaan Erau pada wilayah publik bisa dikatakan sebagai acara kenegaraan dengan demikian keterlibatan publik/masyarakat adalah keterlibatan pasif. Dengan demikian Erau Adat sebenarnya merupakan milik dan kepentingan Kerajaan/Kesultanan untuk menjadi penanda hubungan/komunikasi politik-kultural dengan rakyat/masyarakatnya. Dengan demikian pada mulanya Erau bukanlah murni sebagai sebuah acara kebudayaan (adat) semata tanpa muatan politik dan kekuasaan. Peralihan sistem kekuasaan dari bentuk kerajaan/kesultanan ke pemerintahan daerah tingkat II sebenarnya diputuskan atas dasar keberatan aktivis nasionalis di Kalimantan Timur saat itu yang tidak menghendaki penetapan Kutai sebagai Daerah Istimewa dimana secara turun temurun kepemimpinannya akan ada di tangan kesultanan. Para aktivis nasionalis tidak menghendaki kepemimpinan feodal karena dipandang tidak sesuai dengan nilai demokrasi. Kabupaten Kutai yang beribukota sama dengan Kesultanan Kutai Kartanegara yaitu Tenggarong dengan sendirinya mewarisi tradisi perayaan Erau. Namun tentu saja Erau dalam konteks yang berbeda. Erau oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai dirayakan sebagai bagian dari HUT Kota Tenggarong sejatinya adalah Erau baru meski susunan atau model acaranya sebagian besar mengacu pada perayaan Erau Kerajaan.

Perayaan Erau dalam konteks seperti pada akhirnya memang menimbulkan problematika tersendiri. Meski dari hari ke hari perayaan Erau makin meriah dan meluas jangkauannya namun segenap polemik tetap senantiasa menyertainya.

Panggung Otonomi Daerah
Peperangan seru empat ksatria (Sri Rama Kalih Raden Laksana, Rahwana Dasamuka, Perinitisana dan Badang Layar Bersih) dalam cerita carangan Ramayana versi Kutai dalam iringan gamelan sederhana dan gong dalam hentakan keras serta cepat tak seseru jumlah penonton yang menyaksikannya. Kelompok wayang orang versi Kutai yang lazim disebut Damarwulan yang datang jauh-jauh dari desa Sembeban, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kukar untuk meramaikan perayaan Erau dan Festival Keraton Nusantara 2002. Namun pentas cerita Maharaja Nenek Rasgul Munggah di Negara Pesisir Laut seakan menjadi milik pemain Damarwulan itu sendiri. Jumlah penonton yang datang bisa dihitung dengan jari. Pentas Damarwulan ini sunguh kontras dengan keramaian di tepian sungai Mahakam. Riuh canda, tawa dan tepuk tangan membahana menyaksikan letusan dan gebyar pesta kembang api. Lukisan warna-warni menghiasi langit diatas pulau Kumala. Pulau di tengah sungai Mahakam yang tengah bersolek untuk menjadi sentral wisata. Cantiknya pulau Kumala dan kukuhnya jembatan Mahakam II dalam balutan warna-warni kembang api yang didatangkan dari Cina membuat kesenian rakyat semakin terpinggirkan.

Nurhansah, sang pengabdi seni dan sutradara pentas Damarwulan hanya bisa pasrah. "Tetapi, kita bisanya hanya begini. Mau bagaimana lagi," katanya seraya menunjukkan layar panggung (backdrop) yang terbuat dari kain lusuh. Gambar dan tulisannyapun hanya dengan goresan kuas seadanya. Kostum yang dikenakan pemain dan gamelan yang mengiringinya sebenarnya juga sudah tidak layak pakai. Kondisi ini sangat kontras bila dibandingkan dengan sikap pemerintah Kutai Kartanegara yang tak segan mengeluarkan ratusan juta untuk mendandani ’para prajurit’ Keraton Kutai Kartanegara. Seragam dan perlengkapan prajurit semua serba baru. Damarwulan yang mestinya jadi tuan rumah ditanah sendiri ternyata sulit untuk bertahan hidup. Bahkan dalam keterangan lanjutnya, Nurhansah bukan hanya kostum dan peralatannya yang usang, namun ceritanyapun juga demikian. ”Budaya khas Kutai sudah sulit untuk digali karena banyak yang sudah mati”, tandasnya. Erau di masa otonomi daerah memang semakin meriah. Erau telah berkembang menjadi sebuah festival yang pesertanya tidak hanya datang dari segenap penjuru Kutai Kartanegara, melainkan dari berbagai kota di penjuru Nusantara.

Nasib kelompok Damarwulan ini adalah sebuah ironi dan cerita sedih disaat pemerintah daerah tengah getol melakukan upaya rekonstruksi sejarah menyangkut kehormatan dan kebanggaan terhadap budaya keraton Kutai Kartanegara. Sultan telah kembali didudukkan dalam tahtanya pada pada tanggal 22 September 2001. Mulai saat itu H Adji Mohammad Alehoeddin II yang telah berusia 88 tahun menjadi Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang ke 20. Namun kehadiran Sang Sultan, sekurang-kurangnya sampai dengan tahun 2002 belum berbuah banyak. Panggung kesenian tradisional justru semakin tergeser dengan panggung kesenian artis ibukota. Erau semakin semarak dengan acara-acara yang tak ada kaitannya sama sekali dengan pesta rakyat seperti Kejuaraan Nasional Terjun Payung dan pawai motor besar (moge-motor gedhe). Pentas pamer kemewahan para bikers dengan raungan knalpot yang sanggar menyeret perhatian masyarakat hingga berpaling dari pentas kesenian tradisional yang sebenarnya sedang ’dipestakan’ saat itu.

Namun setelah beberapa tahun Erau dilaksanakan secara besar-besaran dan kontinyu, mulai tahun 2004 sampai dengan tahun ini Erau yang begitu dibangga-banggakan bahkan oleh masyarakat Kalimantan Timur tumbang. Gonjang-ganjing politik di Kutai Kartanegara pada tahun itu menyeret masyarakat dan lembaga politik serta pemerintahan dalam kelompok-kelompok yang memungkinkan konflik menjadi manifest. Dengan alasan kondisi keamanan perayaan Erau kemudian dibekukan. Tahun-tahun berikutnya ternyata Erau juga masih membeku. Pemerintah daerah beralasan Erau telah kembali diserahkan kepada pihak keraton dan meminta pihak keraton agar lebih mandiri. Ditenggarai sikap seperti ini didasari atas hubungan antara kepala pemerintah daerah (Bupati) dan pihak keraton mulai tidak akur lagi. HR. Syaukani yang mencalonkan diri untuk bertarung dalam pilkada bupati secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia tahun ternyata kurang mendapat dukungan penuh dari pihak Keraton. Dukungan justru diarahkan kepada pasangan lain dimana bakal calon bupatinya merupakan salah satu kerabat keraton.
Bupati incumbent yang akhirnya memenangkan pilkada dengan prosentase yang monumental itu akhirnya bersikap dingin terhadap keraton. Dalam sebuah kesempatan Syaukani mengatakan "Bukan kita batalkan, tapi kami menyuruh silakan dilaksanakan tapi cari sponsor sendiri. Sudah berapa kali kita beri kail (beri bantuan dana pemerintah daerah), jadi sekarang kita persilakan gelar sendiri dan cari sponsor sendiri". Sikap seperti ini tentu digugat oleh pihak keraton. "Pelaksanaan Erau ini 'kan pihak kesultanan tergantung pemerintah. Kesultanan sejak berdirinya Erau tidak pernah meminta Erau, tapi yang minta Erau adalah pemerintah daerah sekaligus merayakan HUT Kota Tenggarong (jatuh pada setiap 28 September, Red). Sedangkan untuk melestarikan adat istiadat dan budaya itu 'kan dananya harus dari pemerintah daerah. Tidak mungkin dari Sultan, mau ambil dana dari mana?," kata H Adji Azuar Poeger, Protokol Kesultanan dan Pengembangan Objek Wisata Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dalam sebuah wawancara kepada Kaltim Post. "Intinya, kalau memang Sultan (H Aji Muhammad Salehuddin II, Red) diangkat untuk melestarikan budaya dan adat istiadat, maka biaya ditanggung oleh pemerintah daerah. Berbeda dengan pemerintahan dulu yang dikuasai kerajaan, sekarang ini 'kan Sultan hanya melestarikan budaya adat. Kalau tidak ditanggung pemerintah daerah, bagaimana bisa berjalan," lanjutnya kembali.
Tanpa membantah ataupun mengiyakan soal konflik ’politik’ antara Bupati dan Keraton yang berimbas pada pelaksanaan Erau, Philip Dunggau staf dibagian pemdes pemda Kukar memberi keterangan lain. Menurutnya, dengan ditahtakannya kembali putra mahkota sebagai Sultan maka diharapkan upaya pelestarian adat dan kebudayaan Kutai Kartanegara akan menjadi tanggungjawab pihak keraton. Proses ini menjadi babakan baru dari perjalanan Erau, dimana secara bertahap akan diserahkan kembali pelaksanaannya pada pihak keraton. ”Nah, dalam proses ini rupanya komunikasi dan aspirasi baik dari pihak pemda (bupati) dan keraton (kerabat kesultanan) tidak selalu mulus serta sama. Ada ketidaksepahaman dan mungkin juga ketersinggungan yang membuat Bupati kemudian tidak mau lagi mengurus dan mendukung pelaksanaan Erau,” terang Philip lebih lanjut.
Lepas dari segenap kelebihan dan kekurangan dari penyelenggaraan Erau, dalam pandangan Pak Rustam seorang pengabdi seni Benuag di Desa Pondok Labu, acara Erau tetaplah merupakan kesempatan terbaik untuk memperkenalkan kesenian, adat dan olahraga tradisional berbagai suku yang ada dan tinggal di Kutai Kartanegara. Dia mengakui tak tahu menahu soal kenapa Erau tidak diselenggarakan lagi. Tapi dalam akhir perbincangan sempat tercetus ucapan bahwa penyelenggaraan acara Erau memang bergantung pada kemauan Bapak Bupati.
Korporasi Budaya
Jika harus bicara soal keuntungan atau benefit dari pelaksanaan Erau, siapa yang sesungguhnya diuntungkan dan apa bentuknya. Tentu saja banyak pihak diuntungkan, apapun bentuk keuntungan itu. Yang membedakan mungkin soal besar kecilnya. Pedagang baik yang regular maupun dadakan bisa dipastikan akan meraup untung sebab selama berhari-hari kota Tenggarong ramai dengan kedatangan ribuan orang. Jenis bisnis layanan seperti penginapan, hotel, transportasi dan komunikasi juga tidak sepi dari konsumen. Namun keuntungan disini adalah jenis keuntungan jangka pendek atau sesaat.

Masyarakat adat atau tradisional sebagaimana dikatakan oleh Pak Rustam, pengabdi seni desa Pondok Labu juga merasakan bahwa Erau merupakan acara yang penting untuk memperkenalkan adat dan kebudayaan masyarakatnya. Dalam kesempatan itu (sejauh diundang) mereka bisa mementaskan berbagai kesenian, acara adat dan olahraga tradisional mereka sehingga dikenal oleh masyarakat luas. Maka bagi Pak Rustam, keuntungan dari penyelenggaraan Erau adalah sebuah kesempatan untuk tampil atau pentas di depan publik. Sebuah kesempatan yang selama ini langka baginya.

Berangkat dari pernyataan Anhar Gonggong, seorang sejarawan pada wawancara dengan Harian Republika (Sabtu, 22 September 2002) yang mengatakan bahwa Erau tak ubahnya hanya sebuah event budaya saja maka keuntungan terbesarnya bisa jadi ditangan penyelenggara. Penyelenggara ini dalam bahasa pak Rayun, pengabdi seni Benuaq disebut dengan panitia. Panitia terutama berasal dari unsur pemerintah daerah dan kemudian didukung oleh LPKK (lembaga pembinaan kebudayaan kutai) dan lain-lainnya. Panitia inilah yang dipandang paling mendulang untung sebagaimana disentil oleh Litbang PDKT, Jiu Hardi, MM, dalam sebuah dialog tentang PON XVII/2008. Soal penyelenggaraan PON XVII, Jiu Hardi mengingatkan agar jangan sampai membiarkan warga etnis Dayak hanya sebagai obyek yang dimanfaatkan dan kemudian tidak memetik hasil apa-apa dari pesta akbar olahraga tersebut, dengan mengatakan “Jangan seperti pesta adat Erau di Tenggarong Kutai Kertanegara, warga Dayak diminta menari dan mereka hanya diberi ongkos transpor. Itu saja, mereka tidak mendapat hasil apa-apa dari kegiatan itu. Yang enak tetap pejabat.”. Hal senada dikatakan oleh Pak Rayun yang kerap membawakan kesenian dan adat Benuaq dalam pentas Erau. Baginya begitu Erau selesai panitia bisa pulang membawa mobil plat putih (baru), sementara dia tetap biasa-biasa saja. Kesenian dan adat istiadat yang dibawakannya tetap saja terpuruk dan tidak terberdayakan.

Tidak bisa dipungkiri lagi sekarang, pemerintah daerah lewat dinas pariwisata dan budaya, birokrasi dan lembaga kebudayaan serta perspektif politik ekonomi menjadikan Erau dalam proses ekonomisasi senibudaya dan ritual. Erau bagi masyarakat Kutai ( dan Kalimantan Timur) kerap dipandang sebagai salah satu puncak kebudayaan menjelang tahun 2000 ke atas memang tengah mengalami pergeseran yang kuat. Panitia bertindak sebagaimana layaknya sebuah event organizer, memburu keberhasilan lewat indikator yang berbasis pada ’ideologi angka’. Angka pengunjung (wisatawan domestic dan asing), tingkat hunian hotel, artis ibukota yang manggung, kontingen daerah lain dan mancanegara yang hadir, pejabat tinggi yang datang menyaksikan, transaksi dalam pameran dagang dan lain sebagainya. Lewat pengelolaan Erau model seperti ini maka tingkat keterlibatan warga, komunitas adat dan pengabdi budaya sebagai pendukung utamanya mengalami kemerosotan yang luar biasa. Erau bukan lagi tempat untuk mengungkapkan ekspresi kegembiraan bersama.

Apa yang terjadi di sekitar Erau mau tak mau mengingatkan pada Mc world sebuah istilah yang digunakan oleh Benjamin Barber untuk mengambarkan proses ‘tawar-menawar’ atau pergulatan komunitas local (daerah otonom) untuk mempertahankan solidaritas dan tradisinya (adat-istiadat, kesenian dan kebudayaan) dengan mempergunakan infrastruktur kapitalisme mutakhir. Lewat Erau, pemerintah daerah (panitia pelaksana) hendak ‘menjajakan’ tradisi yang disajikan secara instant agar menjadi ‘merk dunia’ dan mesin penghasil pundit-pundi rupiah. Erau yang perayaannya (festival) yang semakin luas cakupannya (dari local, nasional dan internasional) adalah strategi untuk memasarkan dan mengembangkan kekayaan (potensi) adat, kesenian dan budaya local tertentu (produk indigenous) agar meningkat statusnya menjadi merk dunia.
Membuat produk ‘eksotik’ meningkat daya saingnya tentu bukan pekerjaan yang mudah. Jika perayaan Erau dengan segala aksesori festival tambahannya ditujukan untuk menggaet kedatangan wisatawan maka hasil yang dituai tidaklah sebanyak yang digembar-gemborkan. Marzuki Usman, mantan menteri pariwisata dalam pemberitaan harian Republika (Minggu, 22 September 2002) menyayangkan turis asing yang datang tidak terlalu besar jumlahnya. Dia menuduh minimnya promosi sebagai biangnya. Senada dengan itu Anhar Gonggong juga menyatakan kalau dibilang acara ini dijadikan momentum bangkitnya kepariwisataan, ia tidak melihat adanya upaya panitia penyelenggara ke arah sana. Baginya, adalah aneh kalau Erau dan FKN III didengung-dengungkan menjadi tonggak pariwisata, sebab hampir tak terlihat satu pun orang asing menyaksikan. Benarkah demikian?. Mungkin perlu kajian lebih lanjut, namun dalam era otonomi daerah bisa dikatakan bahwa Kutai Kartanegara adalah salah satu daerah yang rajin mengirim misi kesenian/kebudayaan ke luar negeri.

Umpama Erau adalah sebuah korporasi, dalam rentang waktu antara tahun 1999 – 2003 modal yang ditanamkan oleh pemerintah daerah Kukar sangatlah besar. Pada setiap pelaksanaannya Erau menyerap dana milyaran rupiah. Besarnya dana itu sesaat memang mampu menghidupkan atau memberi nyawa terhadap seni dan kebudayaan lokal sebagai produk utamanya. Hanya saja jika kembali menyimak keluhan Pak Rustam yang mengatakan kesenian/kebudayaan lokal bukannya diberdayakan melainkan diperdayakan, maka gelontoran dana besar-besaran dan peran lembaga pembinaan/pemberdayaan kesenian dan kebudayaan penting untuk dipertanyakan. Erau dan event-event kebudayaan lainnya ternyata justru membuat ketergantungan kelompok kesenian dan masyarakat kebudayaan yang semakin besar pada pemerintah.


Siapa Punya, Siapa Peduli
Kutai Kartanegara dianggap mempunyai tradisi rutin yang digelar setiap tahun (meski dalam kenyataannya tidak demikian) yang berisi aneka laku baik yang dalam perspektif tradisional/adat budaya lokal dan modern-kontemporer tengah berusaha untuk berbenah serta tampil semakin baik. Apa sesungguhnya Erau itu dan bagaimana bisa tetap ada dalam hati masyarakatnya ditengah derasnya ekonomisasi ruang. Bagian terpenting yaitu keterlibatan masyarakat termasuk didalamnya adalah pengabdi kesenian/kebudayaan lokal menjadi penting untuk direnungkan.

Erau sebagai salah satu puncak kebudayaan Kutai (Kalimantan Timur) memiliki akar yang kuat dalam sejarah masyarakatnya. Meski senantiasa mengalami pergeseran dari waktu ke waktu, namun dalam masa pemerintahan Bupati Syaukani HR guncangan terhadap Erau terasa sangat deras. Erau ditempatkan dalam bayang-bayang masa lalu, masa kejayaan Kerajaan Kutai Mulawarman dan Kutai Kartanegara. Erau dengan segala pernak-perniknya disimbolkan sebagai kebangkitan kebudayaan Kutai, symbol pemersatu antar masyarakat yang plural dan tahap menuju percaturan wisata budaya global. Dalam pandangan Anhar Gonggong, antropolog dan sejarawan yang menyaksikan Erau/Festival Keraton Nusantara tahun 2002 menyatakan perayaan ini tak lebih dari sebuah event budaya biasa. Namun dalam penuturan lebih lanjut kepada harian Republika dikatakan bila ditinjau dari aspek antropologi, Festival Erau dan FKN punya makna mendalam. ''Keduanya menjadi bagian tak terpisahkan dari kebermacaman sejarah bangsa kita,'' katanya. Kebermacaman sejarah tersebut, lanjutnya, kemudian berproses hingga menjadi Indonesia yang multietnis dan budaya. Keterkaitan ini menumbuhkan kesadaran perlunya memelihara budaya untuk mempertahankan keutuhan bangsa dari ancaman disintegrasi. Anhar mengakui banyaknya kesultanan dan kerajaan di tanah air saat ini tidak lebih dari sekadar simbol kekayaan dan kekuatan sejarah masa silam. Sebab kini, kesultanan yang ada sudah tidak punya pengaruh lagi di Indonesia. Kendati demikian, katanya, keberadaan mereka tidak lantas dikesampingkan. Pengaruh para sultan dan raja diakui masih tetap ada di lingkup masyarakat sekitar. Oleh karenanya, adat istiadat dan kebiasaan masing-masing kesultanan harus dipelihara, terutama sebagai simbol pemersatu.

Ungkapan Erau sebagai simbol pemersatu mungkin bisa dicapai dalam bentuk fisik. Artinya sebagai sebuah ruang, Erau adalah tempat bagi berbagai kesenian, adat budaya dan olahraga tradisi tampil bersama berbaur, bersanding dengan aneka ritus modern kontemporer lainnya. Erau tetap tampil sebagai pertautan erat antara penduduk asli dan pendatang sebagaimana terenda berabad lamanya. Syaukani HR secara tegas mengatakan ”Esensi Erau bukan semata-mata merupakan pesta yang menampilkan seni dan budaya, tetapi mengandung makna persatuan, kesatuan dan perdamaian”. Persoalannya apakah benar demikian?. Fakta menunjukkan bahwa pelaksanaan Erau yang kemudian batal di tahun 2004 dan seterusnya sampai sekarang justru karena Erau tak mampu mempersatukan kepentingan para pihak (pemerintah/bupati dan kerabat keraton).

Cerita lain misalnya soal pementasan Damarwulan yang sepi penonton dan kemungkinan seni tradisional lainnya akibat kalah bersaing dengan penampilan artis-artis ibukota serta pertujukan dari luar tentu membuat makna persatuan, kesatuan dan perdamaian yang dibangun atas narasi sejarah besar menjadi sulit untuk dirasakan. Budi Warga, pemerhati seni budaya Kukar dikatakan Erau semakin jauh dari tradisi karena yang paling menonjol justru sisi kontemporernya. Tarian massal kreasi baru hasil, karnaval atau pawai, pertunjukkan musik pop, rock dan dangdut, pesta lampion, pesta kembang api, bazar dan lain-lainnya kesemarakkannya mampu menenggelamkan paduan oleh suara dan gerak upacara, seni tradisi yang dalam persepsi kebanyakan orang dipandang monoton.

Hanya ini tidak berarti yang tradisional tidak menarik lagi. Masih ada bagian utama dari upacara Erau yang masih menyedot perhatian yaitu pada bagian penutup dimana disana akan dilaksanakan ritual mengulur naga yang dilanjutkan dengan acara siram-siraman air atau balimbur. Dalam upacara ini seekor naga berkerangka bambu sepanjang 13,5 meter berkepala dan berekor kayu lempong akan dililit dengan kain kuning dan diberi sisik warna-warni. Ada 5 – 7 lekukkan dan dibawahnya dipasang kaki sebagai penyangga agar naga itu bisa berdiri.

Dewa Pangkon dan Dewa Balian akan mengiringi turunnya naga itu dari Kedaton/Istana menuju dermaga untuk kemudian dinaikkan diatas kapal yang akan membawanya ke Kutai Lama dimana akan diadakan acara beluluh bagi para pejabat atau sesepuh yang akan dieraukan. Mereka yang akan dieraukan duduk di balai Tambak Karang. Setelah ditaburi tepung tawar oleh petugas adat, maka air tuli yang dibawa oleh Pangkon akan diserahkan kepada sesepuh untuk kemudian dipercikkan kepada para hadirin. Percikan air itu menandai mulainya acara Balimbur.

Bunyi gamelan terus dibunyikan mengiringi keberangkatan kapal untuk melakukan perjalanan bolak-balik sebanyak 7 kali antara jembatan Tenggarong dan Kutai Lama sebagaimana diriwayatkan dalam legenda Kutai. Setelah itu perlahan naga diturunkan ke sungai. Pangkon akan memotong kepala naga untuk disimpan dan digunakan pada tahun berikutnya. Masyarakat yang berada di sekitar tempat menghanyutkan naga akan memperebutkan kain kuning pembungkus naga yang dipercaya mendatangkan berkah.

Acara siram-siraman yang dipercaya menjadi simbol membersihkan diri dari kotoran, kejahatan dan niat-niat jahat yang sering menguasai seseorang serta memberi kekuatan untuk menangkal marabahaya dan malapetaka yang datang sewaktu-waktu akan berakhir pada pukul enam sore. Dengan selesainya balimbur maka usai sudah, namun dalam keadaan yang basah kuyub dan tubuh mengigil karena dingin mulai menyerang banyak muda-mudi tersenyum gembira dalam hati sebab balimbur telah memberi kesempatan untuk berkenalan dengan pujaan hati yang moga saja esok bisa berjodoh dengannya.

Upacara mengulur naga dan balimbur (saling siram) mungkin merupakan bagian kecil dari ritualita Erau yang mengisi ruang batin masyarakat Kutai. Meski aksentuasinya tak begitu keras, suara-suara seputar dampak kosmologis akibat tidak dilakukannya Erau tertangkap juga. Nila seorang aktivis mahasiswa yang tengah studi di Unikarta mengatakan kemungkinan dampak akibat tidak ada Erau memang ada. Dia menyebutkan kejadian (kesialan dan bencana) yang beruntun, seperti kebakaran, orang tengelam di sungai Mahakam, gonjang-ganjing politik yang terus menerus terjadi di Kukar dan yang terakhir adalah banjir besar yang mengenangi area begitu luas. Banjir bisa jadi merupakan pertanda sang naga tengah bergolak karena Erau tidak dilakukan lagi (upacara mengulur naga). Pak Rusman sempat juga menyatakan bahwa karena tidak di-erau-kan naga di Mahakam menjadi marah dan lapar. Makanya banyak peristiwa tidak mengenakkan terjadi di Kutai Kartanegara saat ini. ”Barangkali itu juga yang membuat Pak Bupati di kurung oleh KPK di Jakarta”, ungkapnya sambil tersenyum.

Pelaksanaan Erau memang pasang surut sebagaimana elevasi air sungai Mahakam, sungai kehidupan bumi Kalimantan Timur. Itulah sebuah resiko jika sebuah tradisi, adat atau kebudayaan telah berada dalam wilayah kekuasaan pemerintah (negara). Hal mana pelaksanaanya akan timbul tengelam seiring dengan kepentingan yang tengah mereka utamakan. Penetrasi pemerintah daerah terutama dinas pariwisata dan kebudayaan serta lembaga pembinaan adat, kesenian, kebudayaan baik yang bentukan pemerintah maupun kelompok lainnya yang kurang paham secara mendalam menjadikan kelompok masyarakat dan seniman tradisional kian tergantung pada cara-cara proyekan yang dangkal. Para birokrat dan panitia justru yang sering ingin tampil di depan, merancang program dengan sangat artifisial termasuk membongkar pasang acara dengan berbagai tambahan tanpa tahu konteksnya. Berbagai pidato dalam gebyar seremoninya juga selalu menekan-nekankan kepentingan menjaga tradisi, budaya yang dengannya akan mampu mengangkat harkat sosial dan tingkat kehidupan ekonomi warga.

Sebagai pertanyaan sekaligus renungan akhir, Erau sebenarnya punya siapa dan siapa pula yang peduli terhadapnya?. Entahlah, tapi yang jelas tidak banyak pihak yang ’ribut’ ketika tahun 2004 dibatalkan pelaksanaannya dan tahun-tahun berikut tak jelas posisinya. Kebanyakan hanya menunggu dan bahkan ada saling lempar tanggungjawab. Intinya bukan soal tidak mau melaksanakan tapi siapa yang menanggung dananya. Lalu dimana peran warga?. Adakah masih ada girah masyarakat Kutai untuk memupuk kegembiraan, merayakan keberhasilan dan kebersamaan dalam ruang ekspresi publik lewat rasa syukur yang beralaskan tradisi lingkungannya?. Semoga saja masih ada, mulai akhir tahun lalu sampai dengan saat ini menunjukkan energi ’kebersamaan’ untuk membebaskan sang Bupati yang menginap di KPK tak surut-surut juga.

Baca Selanjutnya.....

LOM PLAI : Ritual Kecintaan Terhadap Long Diang Yun

Nun jauh disana, kira-kira 341 km dari Samarinda, pondok-pondok darurat (Naq Jengea) telah didirikan di pinggiran sungai Wehea. Pernak-pernik hiasan juga telah digantungkan di sekeliling kampong. Kain-kain aneka motif Wehea juga sudah menghiasi rumah-rumah. Le Ji Taq, seorang kepala adat menghabiskan waktu seharian di dapur membantu istrinya memasak lemang. Paulus Timang, sang panglima perang yang sejak remaja memimpin tarian perang dengan setia mempersiapkan baju dan topi yang dikenal sebagai tepa untuk dipakai dalam pentas seksiang. Hari itu penduduk Wehea benar-benar sibuk. Sebentar lagi mereka akan memulai acara Erau Padi atau Lom Plai.

Ketika persiapan telah selesai semua, sang ketua adat masuk ke dalam rumah adat (Eweang) untuk membunyikan gong dan gendang. Bebunyian itu (Ngesea Egung) menjadi pertanda bahwa ritual Erau Padi atau Lom Plai telah dimulai.

Asal Usul Padi
Masyarakat Dayak di pedesaan dalam kehidupan sehari-harinya tak bisa dipisahkan dengan olah tanam secara tradisional yang dikenal sebagai perladangan berpindah. Sistem yang dipakai adalah dengan cara rotasi (ulang alik) yang bertujuan untuk tetap menjaga kesuburan tanah. Akhir-akhir ini, terutama saat ‘musim kebakaran hutan’ cara perladangan seperti ini kerap dituduh sebagai biang kebakaran hutan dan merusak hutan.

Selain aktivitas perladangan, penanda penting yang melingkupi kehidupan masyarakat Dayak adalah cerita mitologi. Mitos bagi mereka merupakan dasar dan norma tingkah laku yang mengingatkan serta menegaskan bahwa eksistensi mereka tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau. Kepercayaan dan ketaatan pada apa yang terjadi sebagaimana diceritakan dalam mitos itu adalah bagian penting dalam lingkaran dan lingkungan kehidupan harian masyarakat Dayak.

Masyarakat Dayak Wehea, mengenal cerita tentang asal-usul padi. Kisahnya dimulai dari seorang yang bernama Diang Yung, seorang Hapui Ledoh (Pemimpin perempuan/ratu) yang mempunyai putri tunggal nan cantik jelita bernama Long Diang Yun. Pada masa pemerintahannya terjadi paceklik, kekeringan panjang sehinga banyak warganya meninggal dunia. Di sela tidurnya Sang Hapui bermimpi didatangi oleh Dohton Tenyei (Yang Maha Kuasa), yang memintanya untuk mengorbankan putri semata wayangnya jika ingin menyelamatkan kehidupan warganya. Saat terjaga dari tidurnya dalam hati Sang Hapui terjadi peperangan antara keinginan menyelamatkan masyarakatnya dan mempertahankan kehidupan putri tunggalnya yang sekaligus adalah penerus keturunannya. Dalam pertemuan dengan para tua-tua adat dan pemuka masyarakat diambil kesimpulan bahwa masyarakatlah yang harus diselamatkan.

Seluruh warga masyarakat dan para petinggi akhirnya berkumpul di alun-alun dan kemudian , Hapui Diang Yung menyembelih (mengorbankan) sang Putri Long Diang Yung yang sebelumnya didahului oleh sumpah dari seluruh masyarakat yang berbunyi :

• Manusia harus menyayangi padi seperti ia (sang hapui) menyayangi anaknya dan jangan bertindak kasar / durhaka terhadapnya.
• Padi adalah jelmaan anak Sang Hapui karena itu harus di Eraukan seperti Sang hapui melakukannya.
• Bagi orang yang memiliki padi dan menikmatinya serta taat kepada sumpah maka ia akan selamat, panjang umur, sejahtera dan makmur.
• Bagi yang melanggar sumpah maka ia akan celaka, ketulahan dan akan menderita sakit dan tidak panjang umur.

Segera setelah pengorbanan dilaksanakan suasana berubah menjadi gelap, awan hitam (mendung) menyelimuti daerah itu dan tak lama kemudian turun hujan yang sangat lebar. Timbulah keanehan dan keajaiban di tempat dimana sang putri dikorbankan. Disitu tumbuh serumpun padi yang terus meninggi hinggal mengeluarkan bulir-bulir yang menguning. Padi yang merupakan jelmaan dari sang putri ini akhirnya dinamakan Padi Ling Diang Yung, padi kemudian dituai dan terus dituai namun tidak pernah habis-habisnya sehingga seluruh masyarakat bisa mendapat bagian. Sejak saat itu dengan dikorbankannya sang putri yang kemudian menjelma menjadi padi masyarakat perlahan-lahan bisa membangun kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya.

Kepercayaan yang begitu mendalam terhadap mitos ini terus dipertahankan oleh masyarakat Dayak Wehea dalam ritual Lom Plai atau Erau padi. Rangkaian ritual dalam Erau Padi ini dimaksudkan sebagai simbol rasa syukur kepada Putri Long Diang Yung yang kini dipercaya sebagai Dewi Padi.

Erau Padi Dayak Wehea
Suku Dayak Wehea, mempercayai bahwa mereka adalah suku Dayak pertama yang menginjakkan kaki di Borneo saat nenek moyang mereka bermigrasi dari China. Awalnya mereka hidup di daerah pesisir dan mencari penghidupan sebagai nelayan. Ketika terjadi migrasi kelompok suku lain ke Borneo mereka mulai terdesak hingga kemudian tersisih masuk dalam hutan (menjadi orang hulu), dengan demikian pola hidup mereka berubah karena mereka menjadi lebih dekat dengan kehidupan hutan dan sungai. Tatangan alam menempa baik fisik dan psikis mereka hingga akhirnya Suku Dayak dikenal sebagai suku yang berani dan trampil berperang, ahli berburu dan gemar berladang (tani). Suku Dayak Wehea adalah kelompok Dayak yang hidup di daerah aliran sungai Wahau atau kemudian sering diucapkan menjadi Wehea. Mereka kini tinggal di enam desa yang ada di kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.

Salah satu hal yang paling diingat oleh masyarakat luar Dayak dari orang Dayak adalah budaya mengayau. Dalam adat Dayak Wehea dikenal ritual Erau Kepala (Namlen). Ritual ini mengharuskan orang Wehea untuk mencari tumbal yaitu kepala musuh yang kalah dalam pertarungan. Pasukan kecil biasanya dibentuk untuk mencari musuh atau orang dari suku Dayak lainnya yang kemudian diburu untuk dipakai sebagai tumbal. Budaya mengayau atau memenggal kepala musuh untuk dipakai sebagai tumbal akhirnya hilang atau dilarang.

Era perburuan dan perang sudah berakhir, kegiatan bertani atau berladang akhirnya menjadi kegiatan yang sangat penting dan hampir memenuhi aktivitas keseharian mereka. Ritual yang berkaitan dengan pertanian menjadi ritual yang terus menerus dilakukan dan bertahan hingga sekarang. Lom Plai atau Erau padi adalah salah satunya. Lom diterjemahkan dari kata Erau, mengandung dua pengertian yakni mengantisipasi agar tidak sakit, selamat dan panjang umur, atau suatu usaha penyembuhan terhadap orang sakit.
Tujuan dari ritual yang biasa dilakukan setelah masa panen berakhir ini adalah agar masyarakat sehat, selamat, dan panjang umur, serta supaya pada musim tanam berikutnya, padi dan tanaman lain yang dibudidayakan oleh masyarakat terhindar dari hama dan penyakit, dan juga mendapatkan hujan yang cukup sehingga padi dan tanaman lainnya dapat tumbuh dengan subur serta memberikan hasil yang berlimpah kepada masyarakat. Ritual Lom Plai sendiri terdiri atas 17 rangkaian acara yang bisa berlangsung selama satu bulan.

Erau Lom Plai dimulai dengan memukul gong atau Ngesea Egung dan diakhiri dengan nyanyian doa untuk mengusir segala yang jahat dan mendoakan datangnya kehidupan yang lebih baik bersamaan dengan terbenamnya matahari atau Embos Epaq Plai.

Keramaian erau padi atau lom plai ditandai dengan tebaran api unggun di halaman dan jalanan depan pemukiman yang dipakai untuk membakar lemang. Lemang dimasak oleh kaum perempuan sementara pria menyiapkan pakaian perang dan topeng hudoq. Membakar lemang merupakan bagian dari acara penghormatan terhadap padi. Selain lemang perempuan Wehea juga membuat beangbit, sejenis kue yang terbuat dari campuran tepung beras dan gula merah yang juga dimasak dalam bambu.

Bunyi gong yang dipukul (Ngesea Egung) menjadi tanda dimulainya erau padi (lom Plai). Kaum laki-laki dengan seluruh perlengkapannya bersiap untuk menarikan tari Seksiang. Sementara itu kaum perempuan melakukan kegiatan lain yang disebut Embosmin yaitu sebuah ritual untuk pembersihan desa. Mereka berjalan keliling desa sambil membawa dupa dan mengucap berbagai matra dan doa agar desa mereka bersih dari gangguan segala roh jahat dan berbagai bentuk malapetaka. Siapapun yang ketahuan berjalan semaunya dalam ritual ini akan dikenakan denda adat.

Di tepian sungai keramaian memuncak, sebelum acara ini warga akan mendirikan pondok darurat (naq jengea) untuk beristirahat dan menyaksikan acara yang berlangsung disana. Sungai yang merupakan urat nadi kehidupan Suku Wehea karena disana tempat mereka mencari ikan dan menghayutkan rotan telah dipenuhi oleh perahu-perahu yang mengangkut warga yang berpakaian adat lengkap, membawa sumpit, mandau dan tameng. Di sungai akan dilakukan ritual seksiang. Penumpang perahu akan menepi dan mengambil rumput gajah, untuk dipakai sebagai tombak dan sumpit dengan anak sumpitnya butiran tanah liat. Ritual seksiang adalah pendramaan kembali adegan perang di jaman dahulu yang dilakukan diatas air atau dalam sungai dengan memakai perlengkapan perang berupa tombak Weheang yang ujungnya tumpul. Peserta ritual ini dengan perahu melakukan perang-perangan yang rutenya dari hulu ke hilir kampung. Para peserta yang terdiri dari dua kelompok saling ’tembak menembak’ sambil menjalankan perahu. Untuk memanaskan suasana kedua kelompok akan saling mengejek dalam bahasa Wehea sehingga emosi menjadi terpancing.

Ritual ini sangat ramai, keadaan di tengah sungai sungguh seru, seringkali ada perahu yang terbalik karena awaknya kena tombak. Penonton yang memadati pinggiran sungai juga tak kalah hebohnya, mereka terus berteriak dengan antusias untuk memberi semangat kepada teman-teman mereka. Seksiang ini merupakan gambaran dari suasana perang di jaman dahulu. Meski namanya perang, namun tetap ada aturan yang tidak tertulis yang tetap dihormati. Dalam perang dilarang memukul lawan yang sudah jatuh dan tidak berdaya. Perang juga dimulai dari kedatangan raja dari suku lain kepada suku yang hendak dikuasainya dengan cara meminta secara santun. Apabila tidak terjadi kesepakatan maka kemudian jalan kekerasan atau perang baru ditempuh.

Kunci dari ritual Seksiang ini adalah keseimbangan, sebab siapa yang dinyatakan kalah adalah mereka yang terjatuh dan perahunya terbalik. Mereka ini kemudian menjadi tawanan, namun bisa bebas apabila keluarganya menebus yaitu dengan memberikan lemang.

Setelah kampong dinyatakan “bersih “ dari roh jahat yang ditandai dengan selesainya barisan perempuan yang berkeliling kampong dan perang-perangan (seksiang) akan dilakukan siram-siraman. Seorang perempuan dewasa (Peknai) akan melakukan penyiraman kepada Tua Adat (Mengsaq Pang Tung Eleang – seorang tua adat disiram oleh gadis). Penyiraman ini melambangkan rumpun padi akan mendapat air yang cukup dengan datangnya musim hujan. Setelah itu warga akan saling menyiram. Mereka akan saling kejar, siapapun yang belum terkena akan terus diburu bahkan sampai di dalam kamar sekalipun. Kegiatan terus berlanjut dengan dilakukan beberapa acara lagi, seperti Nelha La (menggantung rumput), Entuem Pang Tung Eleang (menerobos ujung titian), Ngesea Egung (memegang rumput yang telah digantung), Laq Gues (mengambil tawanan), dimana dalam acara ini warga saling mencoreng arang atau abu pembakaran. Mereka melakukan ini dengan harapan ladang akan terbakar sempurna tanpa merusak hutan. Dan tanah mereka menjadi subur seperti arang. Ini berarti padi akan tumbuh subur diladang mereka. Ada pula acara makan bersama dengan menu yang beragam. Mulai dari lemang, ikan gabus, ikan patin, daging babi, dan berbagai sayuran yang disajikan di setiap rumah..

Puncak atau akhir dari perayaan Lom Plai adalah tarian Hudoq. Sebuah tarian yang dipercaya sebagai tarian memanggil jin yang akan membantu mereka menjaga kesuburan tanahnya. Kaum laki-laki akan menyiapkan pakaian untuk tarian ini. Setiap satu set baju tarian hudog dibutuhkan kurang lebih lima batang pohon pisang. Selain baju dari pohon pisang mereka juga akan memakai topeng yang berwujud muka binatang (topeng Hudoq Tonggup). Semua warga berkumpul di lapangan luas yang letaknya di pinggiran kampung. Tarian Hudoq selain dipercaya mendatangkan jin yang membantu kesuburan tanaman juga diyakini dapat menyembuhkan penyakit. Suku dayak Wehea meyakini tarian ini adalah tarian memanggil jin yang akan membantu menyuburkan tanaman. Tarian ini juga mereka yakini dapat menyembuhkan penyakit.

Tarian akan didahului dengan percikan darah segar oleh Panglima adat ke seluruh peserta penari. Tujuannya agar tidak ada yang menganggu jalannya prosesi. Jin yang dipanggil akan datang dari dalam tanah, air dan kahyangan. Penari akan menari dalam formasi mengelilingi lapangan dan perlahan gerakan mereka sudah mulai hilang kesadarannya. Tarian ini berlangsung ber-jam – jam sehingga membutuhkan kekuatan fisik yang prima, dimana dalam kondisi normal, orang akan sulit melakukannya.Bila hujan tidak turun, tarian ini barangkali akan berakhir hingga malam. Namun air hujan adalah pertanda baik, artinya ratu penguasa padi atau putri Long Dyang yung telah menerima persembahan mereka. Malam harinya, diadakan tarian Tumbambataq, Jiak Keleng, Ngewai dan Enluei untuk menghibur warga.

Seluruh rangkaian acara Lom Plai pun ditutup dengan prosesi Embos Epaq Plai yakni membuang hampa padi. Dalam bagian ini semua masyarakat berjalan menuju ke bagian hulu kampung dan secara perlahan berjalan ke arah hilir kampung dengan menyanyikan Doa. Setelah itu kampung kembali senyap, nyannyian dendang kidung Dayak Wehea yang disebut Nluei dalam nada tinggi, merintih dan tempo lambat tak terdengar lagi. Nluei adalah kidung penting yang mengiringi berbagai acara adat Wehea, tanpanya acara adat tak akan berlangsung dengan hikmad.

Wehea Menantang Perubahan
Erau padi sebagai manifestasi tradisi yang dimiliki oleh Suku Dayak Wehea sebenarnya merupakan sebuah pesan dan pelajaran soal bagaimana berhubungan, menghargai dan melindungi alam juga kehidupan. Dibalik upacara itu sesungguhnya tersimpan sebuah sistem pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah teruji selama berabad-abad lamanya.

Namun waktu tidak sekedar hadir sebagai penanda pagi, siang dan malam sebab dalam pusarannya selalu terkandung sebuah perubahan yang bisa jadi membawa sebuah harapan yang mengembirakan tapi sekaligus juga sejuta kekhawatiran. Pak Ledjie, kepala adat suku Wehea di Desa Nehas Liah Biang mengatakan, upacara adat seperti Lom Plai ini secara perlahan sudah mulai tidak populer lagi di masyarakat dan terancam punah. "Kondisi ini terjadi bukan karena tidak adanya regenerasi, tetapi lebih karena aturan adat yang membatasi adanya prosesi yang tidak boleh diketahui sembarang orang terutama kaum muda. Jadi ya, tidak ada regenerasi," katanya. Namun terbukanya pilihan pekerjaan atau pencaharian di luar pertanian dan hutan juga turut membuat ikatan batin terhadap upacara adat semakin menurun. Mempertahankan adat dan kebudayaan serta lingkungan tempat tumbuh kembangnya juga bukan sebuah usaha yang gampang.

Sampai hari ini komunitas yang mengenal 30 varietas padi ini masih mampu menjaga kawasan hutan adat mereka. Adalah Ladjie Taq, kepala adat suku Wehea, bersama beberapa tokoh adat Wehea lainnya yang menetapkan aturan itu sejak tahun 2005. Dengan itu, hutan seluas 38.000 hektare yang terletak di Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, tersebut resmi menjadi kawasan hutan lindung yang dijaga secara adat oleh masyarakat Dayak Wehea. Kawasan ini menyimpan tiga daerah tangkapan air di Seleq, Melinyiu, dan Sekung, yang bermuara di Sungai Mahakam. Maka adalah sangat beralasan jika masyarakat Wehea menjaga dengan teguh kawasan ini. Sebab kebanyakan orang Wehea masih menggantungkan hidup dari berladang. Mereka mengambil air untuk berladang dari Sungai Wehea yang bersumber dari mata air di hutan. Hutan adalah benteng dari bencana, sebab di musim hujan hutan menjadi daerah resapan air, sehingga sungai tak meluap menenggelamkan ladang dan desa.
Karena itu, kata Ladjie, hutan tak boleh dirusak. Warga Wehea hanya boleh memanfaatkan hutan secara terbatas. "Tak boleh sembarangan agar kekayaannya tetap lestari," ujar Ladjie. Pembatasan ini dituangkan dalam sebuah peraturan adat Nomor 01 Tahun 2005. Dalam peraturan adat itu diatur antara lain larangan menebang pohon untuk keperluan pribadi atau diperjualbelikan. Warga juga dilarang membuka lahan untuk kebun, ladang, atau peruntukan lain di kawasan hutan lindung. Selain itu, hewan dalam kawasan hutan tidak boleh diburu. Pohon boleh ditebang untuk keperluan pembangunan fasilitas umum, semisal balai desa. Hasil hutan lain non-kayu, seperti damar, rotan, buah-buahan, dan gaharu, juga boleh dimanfaatkan. Untuk hewan, babi hutan masih diperbolehkan diburu. Tapi semua itu baru bisa dilakukan setelah ada izin dari perangkat pemerintahan desa dan Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea.

Siapapun yang melanggar aturan ini akan disidang secara adat. Hukumannya biasanya mengganti sesuai nilai pohon, hewan, atau kekayaan hutan lain yang diambil tanpa izin atau di luar yang ditentukan. "Misalnya, diizinkan berburu dua ekor babi tapi yang dibunuh tiga ekor, maka dia dihukum secara adat mengganti senilai seekor babi yang dibunuh di luar ketentuan," kata Ladjie. Jika keputusan adat tak tercapai, kepala adat akan membawa kasus itu ke aparat penegak hukum.

Masyarakat Wehea juga membentuk semacam kelompok patroli penjaga hutan yang disebut Petquq Mehuey. Kelompok ini terdiri dari 30 orang, bertugas mengawasi segenap areal hutan. Mereka dipilih setiap tiga tahun sekali, dan para anggotanya hanya bisa menduduki masa jabatan itu paling banyak dua periode.

Namun meski peraturan adat telah ditetapkan dan kelembagaan pendukungnya telah dibuat kekhawatiran masih tetap saja menyelimuti benak warga Wehea. Mereka tetap khawatir tidak bisa menjaga hutan dari kemungkinan masuknya investor untuk melakukan eksploitasi. Pasalnya status hutan lindung belum mendapat penetapan resmi dari negara (Departemen Kehutanan). "Kalau suatu saat ada perusahaan besar yang mengantongi izin dari pusat untuk membuka hutan Wehea, kami tak bisa berbuat apa-apa," tutur Ladjie.

Memang pemerintah kabupaten dan propinsi mendukung upaya masyarakat adat Wehea ini, namun apakah negara mengakui otonomi adat atas sebuah kawasan. Itu yang masih terus jadi persoalan. Dadang Imam Gozali dari Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea menyatakan bahwa pihaknya sudah beberapa kali berkirim surat untuk meminta penetapan resmi kawasan Wehea sebagai hutan lindung dari Dephut, tapi tak juga ada tanggapan. Tanpa berburuk sangka, Dadang sempat mencurigai terkatung-katungnya status kawasan Wehea sebagai sebuah kesengajaan. Sebab konon di dalam kawasan ini terkandung kekayaan mineral berupa batubara. "Pernah ada tim dari ESDM meneliti dan menemukan batu bara kalori rendah," kata Dadang. Diperkirakan potensinya mencapai 10 juta metrik ton.

"Hutan adalah masa depan kami, untuk anak-cucu. Kalau hutan hancur, generasi kami juga hancur," kata Hatsong, tetua suku Dayak Ga'ai yang menghuni kawasan Lesan yang bersebelahan dengan kawasan suku Wehea. Tentu yang dimaksud dengan generasi bukan sekedar orangnya tetapi juga system pengetahuan, adat, kebudayaan dan kebijaksanaan yang telah dibangun turun temurun. Jika hutan hancur, maka besar kemungkinan kita tak akan lagi menyaksikan Lom Plai yang penuh makna dan kekhusyukkan. Jadi sesungguhnya hutan itu milik siapa?.
Baca Selanjutnya.....

Menjadi Gereja Baru : 100 Tahun Gereja Katolik Kalimantan Timur

Tahun 2007 Gereja Katolik Kalimantan Timur (wilayah gereja Keuskupan Agung Samarinda dan Tanjung Selor) memperingati 100 tahun kehadiran dan pekabaran Injil di Benua Etam. Jika pada masa-masa awal tantangan karya missioner adalah alam yang ganas, penyakit (malaria, tbc, dll), penolakan masyarakat dan keterpencilan maka dalam masa sekarang ini tantangan yang paling utama adalah bagaimana gereja bisa mewujudkan diri sebagai kekuatan lokal yang mandiri untuk memberdayakan masyarakat (ummat). Saat ini dukungan untuk karya pastoral gereja dari ’induk karya missioner’ dari Eropa sudah paripurna maka gereja lokal harus menggali sumberdaya sendiri untuk memenuhi kebutuhan bagi pelayanannya. Jika peringatan 100 tahun merupakan tonggal kebangkitan gereja lokal maka bagaimana seratus tahun ke depan gereja Katolik Kalimantan Timur bisa hadir sebagai ’kekuatan pembebasan’ dengan sumberdaya yang cukup bagi masyarakat (ummat). Kini sebagian besar ummat masih berada dalam kondisi yang memprihatinkan, tanah subur dan sumberdaya alam lainnya tidak lagi di tangan mereka dan kebudayaan lokal sebagai sumber spirit kehidupan ummat (yang sebagian besar adalah masyarakat Dayak) juga tengah berada di persimpangan jalan. ”Preparation option for the poor” atau keperpihakan kepada orang miskin (tertindas, terpinggirkan, tergusur, dll) dengan inspirasi dari para missionaris awal masih mempunyai ruang terbuka dan lebar untuk menjadi medan baru bagi karya missioner Gereja Katolik Kalimantan Timur sebagai gereja lokal yang mandiri.


Bermula Dari Hulu Mahakam
Mgr. Florentinus Sului MSF dalam kotbah misa perayaan 100 tahun Gereja Katolik di Kalimantan Timur yang dilaksanakan di Lapangan Tanaa Purai Ngeriman ( tanah yang suci-bersih, subur-makmur dan berlimpah ini) mengisahkan sejarah perkembangan karya misi di bumi Kalimantan Timur. Dalam penuturan Uskup Agung Samarinda ini diungkapkan bahwa karya missioner di Kalimantan Timur sebenarnya mulai dirintis dari abad ke 16 dengan masuknya Pastor Antonius Ventimiglia yang masuk ke komunitas Dayak Ngaju lewat Kalimantan Tengah. Namun karya missioner itu terhenti dengan terbunuhnya P. Antonius Ventimiglia pada tahun 1662. Namun usaha untuk meneruskan karya missioner terus dilakukan meski pernah disimpulkan bahwa daerah Kalimantan Timur bukanlah daerah yang aman untuk mewartakan Injil.

Prefektus Apostolik Pontianak yang terbentuk pada tahun 1905 dengan dimotori para missionaris dari Ordo Kapusin mulai merintis kembali pekabaran Injil di Kalimantan Timur. Karya missioner ini dimulai dengan kedatangan Pastor Libertus Cluts, Cammilus Buil dan Bruder Ivo ketiganya dari Ordo Kapusin pada tahun 1907 di Desa Laham yang terletak di hulu Mahakam kurang lebih 500 km dari Samarinda. Medan karya missioner mereka adalah masyarakat Dayak yang kental dengan kepercayaan lokal mereka (yang kerap disebut sebagai animisme dan dinamisme) susah untuk ditembus bahkan cenderung menolak sistem kepercayaan baru yang diperkenalkan oleh para missionaris yang tentu saja tidak menguasai bahasa mereka. Mgr. Sului mengatakan saat itu para missionaris hampir putus asa dan berniat untuk menyerah. Namun sebuah pencerahan datang, muncul ide dari antara mereka untuk merubah strategi pendekatan yaitu dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak Dayak. Maka mereka mulai mendirikan sekolah dan asrama sederhana serta memberi pelayanan kesehatan. Usaha untuk membawa anak-anak ke asrama untuk bersekolah juga tidak mudah karena keberatan dari orang tua mereka yang perlu tenaga anak-anaknya untuk membantu kegiatan perladangan. Ketika anak-anak sudah ada di asramapun kadang masih dijemput kembali oleh orang tuanya untuk dibawa pulang karena kegiatan perladangan telah dimulai kembali atau karena ada acara adat di kampungnya.

Namun meski perlahan akhirnya bibit yang disebar oleh para missionaris mulai dituai dengan baptisan untuk 14 putra dan 21 putri pada tahun 1913. Dua belas tahun kemudian yaitu pada tahun 1925 sakramen perkawinan untuk pertama kalinya diterima oleh sepasang putra-putri Dayak. Kekuatan karya missioner pada tahun 1920 bertambah dengan kehadiran 3 suster dari konggregasi Fransikanes Veghel (sr. Alexia, Ligoria dan Theodorata). Karena kesulitan komunikasi antara Pontianak dan Laham serta kurangnya sumberdaya dari Ordo Kapusin, maka popinsial Kapusin di Belanda menawarkan kepada Konggregasi MSF (Misionaris Keluarga Kudus) untuk mengambil alih karya missioner di Kalimantan Timur. Sejak tahun 1926, konggregasi MSF secara resmi mengambil alih karya missioner di Kalimantan Timur. Pusat misi kemudian di pindah ke Tering. Sumberdaya juga mulai bertambah dengan kedatangan suster dari Konggregasi Fransikanes Dongen dan MASF. Setelah jaman kemerdekaan tepatnya tahun 1955, pusat misi akhirnya dipindahkan ke Samarinda. Pada tahun 1961 status vikariat apostolik Samarinda ditingkatkan menjadi Keuskupan Samarinda. Tahun 2003 keuskupan Samarinda yang telah melahirkan Keuskupan Tanjung Selor ditetapkan sebagai Keuskupan Agung dengan wilayah koordinasi pastoralnya meliputi keuskupan sufragan Banjarmasin, Palangkaraya dan Tanjung Selor.

Dalam penutup kotbahnya Mgr. Sului yang adalah putra Dayak mengungkapkan bahwa karya missioner di Kaltim menuai tuaian yang lumayan banyak. Namun lanjut Mgr. Sului tugas itu belum selesai dan harus terus dilanjutkan sebagaimana kutipan yang diambil dari injil Lukas 5:1 ”Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam”.

100 persen Dayak – 100 persen Katolik
Masyarakat Dayak adalah bagian terbesar dari umat di Gereja Katolik Keuskupan Samarinda. Perjumpaan dan pergulatan antara ”Kekatolikan” dan ”Kedayakan” tentu saja menjadi sebuah proses penting dalam mewujudkan Gereja Katolik lokal yang mandiri. Jauh sebelum gereja Katolik masuk, masyarakat Dayak adalah masyarakat yang telah mempunyai sistem peradaban yang matang selama berabad-abad (kebudayaan dan kepercayaan). Pertemuan antara agama langit (Abrahamis) dengan agama bumi (agama lokal atau suku) kerap dalam wujud saling mengalahkan, namun biasanya agama langit yang kini menjadi agama mainstream atau diakui oleh negara yang keluar sebagai pemenangnya. Y. Lengko seorang warga di Lamin Eheng (kecamatan Barong Tongkok, Kubar) mengungkapkan bahwa perjumpaan antara Katolik dan Dayak tidak ada masalah. Sebagian besar warga desa Eheng memeluk agama Katolik dan mereka tetap bisa menjalankan kebudayaan mereka. Sementara Junyung seorang Balian muda mengatakan bahwa dalam perayaan misa terutama hari-hari besar kesenian Dayak Benuag seperti tari Gantar dan Berijog (lagu) biasa dipakai sebagai bagian dari peribadatan.

Memang dalam tata perayaan ekaristi (terutama setelah konsili Vatikan ke II), bentuk-bentuk kesenian adat (tarian, lagu/syair dan alat musik) mulai dipakai sebagai gaya misa lokal (Indonesia). Misa dengan lagu-lagu bercorak Dayak kini menjadi bagian dari kehidupan peribatan di Kalimantan Timur. Demikian pula tari-tarian, pakaian adat dan simbol-simbol Dayak dengan mudah ditemukan dalam peristiwa peribadatan atau peristiwa lainnya dalam Gereja Katolik Kalimantan Timur. Saat perayaan misa peringatan 100 tahun, perarakan barisan konselebrans yang terdiri dari puluhan pastor dan uskup serta duta besar Vatikan (pro nuncius) menuju altar didahului dengan barisan panjang putra-putri Dayak dengan pakaian dan tarian yang mencerminkan keberagaman sub-sub suku yang disebut sebagai Suku Dayak. Petugas-petugas misa (petugas bacaan, pengumpul kolekte, pembawa derma, penerima tamu) juga menggunakan pakaian pakaian adat Dayak. Dari antara 15.000 umat yang hadir juga gampang ditemui anggota jemaat yang memakai pakaian adat Dayak. Namun benarkah pertemuan antara Katolik dan Dayak telah termoderasi?.

Suwila seorang Balian Bawe (Balian Perempuan) yang mempunyai nama dukun Putri Melak Hilir, menceritakan pengalamannya bahwa saat tidak menjalankan aktivitas sebagai Belian maka dia adalah orang Katolik, tetapi saat menjadi Belian maka kepercayaannya adalah kepercayaan adat/suku. Meski tidak menunjukkan adanya rivalitas tapi dalam sesungguhnya dalam diri sang Putri Melak Hilir ada dualisme kepercayaan yang sungguh berbeda. Rasau, kepala adat Benuag di desa Dermai, Kecamatan Damai, Kubar mengungkapkan bahwa agama adalah tambahan bagi adat. Dari pernyataan ini maka agama berada dalam posisi sub-ordinat dari adat. Sementara sebagian besar umat menganggap bahwa praktek-praktek adat terutama dalam bentuk Balian adalah praktek yang bertentangan dengan kepercayaan Kristen. Mama Pirin, warga Kenyah yang tinggal di Long Anai bahkan kerap mengatakan praktek seperti itu adalah praktek mereka saat masih kafir (belum Kristen). Dari kesaksian beberapa warga di Eheng, terangkum pernyataan bahwa Gereja Katolik (pastor) tidak pernah secara jelas-jelas melarang kegiatan itu. Bahkan seorang pastor dulu pernah disembuhkan lewat pengobatan Balian setelah penanganan secara medis tidak berhasil. Rudi Haryo AMZ seorang pencinta kebudayaan Dayak mengungkapkan bahwa Gereja memang tidak melarang tetapi menciptakan kondisi yang tidak mendukung tumbuh kembangnya praktik Balian. Dan memang karya missioner kesehatan dari gereja Katolik lewat yayasan Setia Budi (Rumah Sakit Dirgahayu, dll) secara jelas telah merubah orientasi medis masyarakat Dayak dari medis Balian ke arah medis Modern. Pak Yoseph yang merupakan tetua di Lamin Benum, Kecamatan Damai, Kubar, menyatakan bahwa Balian sudah jarang dilakukan di desanya karena kini mereka berobat ke dokter.

Gambaran diatas meski bukan merupakan riak besar dalam kehidupan iman masyarakat Katolik di Kalimantan Timur, namun tetap merupakan persoalan yang harus diselesaikan dalam konteks kepenuhan baik sebagai orang Dayak dan sekaligus Katolik (Dayak dan Katolik seutuhnya). Dualitas adalah persoalan dan sekaligus membingungkan. Supinah seorang Balian dari Suku Benuaq mengungkapkan kebingungan itu dengan pertanyaan ”Kenapa gereja yang satu (bisa juga umatnya) selalu mengusik profesi saya sebagai ”praktek orang hutan”, sementara Gereja yang lain (bisa juga umatnya) bersikap tidak ambil peduli?”. ”Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam”, dalam kondisi seperti ini bisa dimaknai sebagai sebuah perintah misioner untuk menyelami keadaan secara lebih dalam, menembus ruang dan pergolakan batin sebagian masyarakat Dayak yang meski telah menjadi Katolik tetapi tidak memutus hubungan dengan tradisi, ritual dan keyakinan yang diwarisi dari nenek moyangnya. Gereja Katolik Kalimantan Timur telah membuktikan pertautan yang cukup manis dengan kebudayaan Dayak terutama berkaitan dengan seni baik musik (syair dan lagu), tari, pakaian dan simbol-simbol lainnya. Namun ruang dialog dan tranformasi teologi berkaitan dengan kepercayaan dan ritual warisan para leluhur masih harus terus dilakukan hingga tercapai ’kesepakatan’ tanpa semangat saling mengalahkan melainkan melahirkan sebuah generasi yang utuh baik sebagai orang Dayak yang sekaligus adalah Katolik. Bukankah ada adagium yang mengatakan ”Theologia semper reformanda” atau teologi harus terus menerus diperbaharui. Dengan demikian gereja lokal bukan semata-mata bercorak fisik tetapi secara lebih luas juga menjadi cemin penghayatan iman berbasis pada teologi lokal tanpa meninggalkan ajaran dan kepercayaan inti yang diturunkan oleh Tuhan Allah melalui Yesus putraNYA yang terkasih.

Gereja Lokal Mandiri
Setelah cukup lama menyusu dari kelompok missioner Eropa, pelan-pelan Gereja Katolik Kalimantan Timur mulai ’disapih’ agar bisa berdiri sendiri. Bantuan dari Eropa saat ini bisa dikatakan sudah tidak ada lagi, semua kebutuhan bagi pelayanan gereja harus diperoleh dan dikumpulkan sendiri. Para misionaris telah lama menyadari hal ini, Pastor Klein yang berkarya di Barong Tongkok dalam kenangan Pak Juventius dianggap telah mempersiapkan hal itu dengan mengembangkan unit produksi berupa kebun karet dan usaha perkayuan. Lebih lanjut Pak Juven menerangkan bahwa hasil dari usaha itu sangat membantu karya dan pelayanan Gereja terutama dalam hal pendidikan dimana para guru bisa memperoleh kesejahteraan yang cukup. Namun sayangnya saat ditinggalkan oleh Pastor Klein justru terjadi miss manajemen yang mengakibatkan kebun menjadi tidak terurus bahkan dijual dan pohon yang tersisapun kini telah ditebang. Kini kondisi guru di sekolah yang dikelola yayasan Katolik memprihatinkan. Bahkan ada sekolah yang ditutup dan digabungkan dengan SD Negeri karena yayasan tak mampu menanggung beban operasional. ”Salah satunya adalah SDK di Eheng tempat saya mengajar”, katanya.

Sharing pengalaman dan ungkapan hati dari Pak Guru ini harusnya menjadi catatan tersendiri bagi upaya gereja Katolik Keuskupan Samarinda dalam usahanya menjadi Gereja yang mandiri. Bagi paroki-paroki besar yang ada di perkotaan mungkin tidak masalah karena jumlah uang kolekte (derma) dan sumbangan lainnya dari jemaat, jumlahnya akan cukup besar untuk menopang jalannya pelayanan gereja. Namun sebagian besar umat dan wilayah gereja Keuskupan Agung Samarinda adalah umat yang sederhana (bahkan miskin) dan berada di pedalaman, maka sulit untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa uluran tangan dari luar. Unit-unit pelayanan yang berada di bawah payung gereja karena dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan maka kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan finansial juga kecil. Bahkan unit pelayanan pendidikan misalnya kini berada dalam kondisi yang kritis karena umumnya pemerintah daerah di Kalimantan Timur memberikan subsidi atau bantuan kepada sekolah untuk membebaskan siswa dari biaya pendidikan (SPP). Saat ini sulit bagi sekolah Katolik terutama di pedesaan untuk menarik SPP yang tidak seragam (sebagai bagian dari subsidi silang), namun bila dirata-rata maka jumlah yang dikumpulkan bisa jadi tidak cukup untuk menanggung beban operasional sekolah katanya lebih lanjut.

Sekelumit kisah diatas bisa menunjukkan bahwa tantangan untuk menjadi Gereja Lokal yang mandiri sungguh tidak gampang. Karya dan wilayah pelayanan baik iman maupun sosial terbentang dalam wilayah yang luas dan terpencar sehingga dibutuhkan mobilisasi baik sumberdaya manusia maupun dana yang besar. Bagaimana dan darimana hal itu bisa dipenuhi bisa jadi masih merupakan pergulatan yang belum menampakkan titik terang.

Memandang 100 Tahun Ke Depan
Ismail Thomas SH, bupati Kutai Barat mengakui bahwa karya pelayanan gereja Katolik yang sangat menonjol dan memberi sumbangsih yang besar adalah pendidikan, kesehatan dan upaya pengetasan kemiskinan yang berbasis masyarakat. Harapannya adalah umat Katolik bisa menjadi contoh dan tauladan dalam memupuk keimanan dan menjalin persaudaraan baik antar sesama maupun dengan umat lainnya, selain dari pada itu momentum 100 tahun ini hendaknya bisa menjadi tonggak bagi upaya revitalisasi dan transformasi diri berhadapan dengan tantangan jaman baik saat ini maupun masa mendatang.

Masyarakat Dayak sebagai bagian terbesar dari umat Katolik di Kalimantan Timur masih terus dicitrakan negatif sampai saat ini. Citra yang direpuduksi oleh para pelancong, peneliti dan kolonialis barat terus masih bertahan, bahkan dalam masa pasca kemerdekaan para penyiar agama, birokrat dan cerdik pandai (kaum terdidik) masih saja terjebak dalam strerotype yang sama. Kebijakan pembangunan sampai saat ini juga belum berpihak pada mereka, bahkan usaha pembangunan sektor wisata jika tidak segera dikritisi bisa terus melanggengkan image, pencitraan dan menghadirkan kenyataan yang tidak lagi ada untuk menarik perhatian wisatawan. Masyarakat Dayak saat ini pada umumnya juga masih punya kaitan erat dengan hutan dan pertanian (perladangan) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun degradasi lingkungan (deforestrisasi) sungguh luar biasa. Pembukaan hutan untuk HPH dan tambang telah merusak sumber-sumber kehidupan mereka dan dampak lingkungan (bencana) semakin menyulitkan perjuangan kehidupan untuk memperoleh kesejahteraan. Junyung seorang pengrajin anyaman rotan mengatakan bahwa rotan harus dibeli karena persedian di hutan sekitar tempat tinggalnya tidak ada lagi. Sementara Pak Yoseph menceritakan bahwa masyarakat petani kini harus bermigrasi, tapi bukan ke kota melainkan lebih ke pedalaman agar bisa mendapat lahan yang baik untuk lokasi pertanian (perladangan).

Mgr. Sului menegaskan bahwa tantangan bagi Gereja Katolik Keuskupan Samarinda dalam 100 tahun ke depan bukan lagi lebatnya hutan, binatang buas, penyakit malaria/TBC/dll, penolakan komunitas Dayak terhadap iman Katolik dan komunikasi melainkan kondisi-kondisi yang berkembang secara aktual akibat gempuran kepentingan baik ekonomi maupun politik yang bisa menyebabkan kondisi umat dan masyarakat menjadi terpuruk. Gereja baik secara institusi maupun persekutuan harus membuktikan diri bisa menjadi jalan keselamatan lewat terbentuknya masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.

Iman atau kepercayaan dalam fitrahnya adalah sebuah jalan pemerdekaan tanpa kekerasan. Sejarah siar agama (misi dan dakwah) di masa lalu mungkin juga masih tersisa saat ini tidak lepas dari jejak penahklukan (kolonisasi) atas sistem maupun praktek peradaban lokal. Banyak sekali sikap hidup, nilai dasar dan praktek/pengetahuan/kebijakan lokal suku Dayak (dan tentu saja suku-suku lainnya) yang bisa disumbangkan bagi terwujudnya praktek keberimanan yang memerdekakan. Iman sebagai siasat untuk menghadapi tantangan jaman adalah praksis yang merefleksikan ajaran kitab suci, iman, tradisi agama dan lokal (suku/adat) untuk mendayagunakan segenap potensi perubahan jaman menuju tegaknya nilai-nilai : kemerdekaan, persaudaraan, keadilan/kesejahteraan sosial dan kerakyatan. Ad Multos Annos, Selamat merayakan 100 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung Samarinda.

Baca Selanjutnya.....

Komunitas Nyerakat Bontang : Nasibmu Kini

Oleh : Abdullah Naim


Riwayat ruang

Salah satu yang membedakan kampung-kampung yang terletak di ujung selatan Bontang, seperti Nyerakat dengan kampung yang ada di Utara adalah pada akses jalan masuk. Untuk mencapai Nyerakat, ada tiga jalan yang dapat dilalui. Dua jalan darat dan terakhir lewat laut. Jalan pertama di Km. 10 Bontang belok masuk jalan perusaahaan batubara milik PT. Indominco Mandiri.
Jalan yang satu ini terkesan mengerikan bagi para pengendara, karena dilalui oleh mobil-mobil raksasa pemuat batubara yang setiap saat bisa mengancam keselamatan bagi setiap orang yang melintasinya. Sudah menjadi keharusan bagi semua pengendara yang melewati jalan ini untuk menyalakan lampu walau di siang hari. Di depan pos jaga ada beberapa orang terlihat berjaga-jaga untuk mengawasi orang lalu lalang dari jalan perusahaan yang juga sering dimanfaatkan sebagai jalan alternatif oleh masyarakat Nyerakat dan sekitarnya. Namun demikian masyarakat Nyerakat terkadang menggunakan mobil bus-bus perusahaan seperti PAMA (sub kontraktor perusahaan PT. Indominco).
Kedua, jalan Flores. Masuk ke jalur poros jalan besar yang menjadi mega proyeknya pemkot Bontang. Jalan yang dulu milik perusahaan HPH CV. Rangga Jati dan CV. GST (sudah tidak beroperasi) ini sedang dalam pengerasan dan perluasan untuk konstruksi jalan jalur dua. Maklum ini adalah jalan yang akan menghubungkan kawasan kota Bontang dengan Sekambing (Bontang Lestari) yang sedang digenjot pembangunannya oleh pemkot Bontang.

Lewat laut adalah jalur yang sudah lama dimamfaatkan oleh masyarakat Nyerakat. Dari kampung Nyerakat hingga kawasan pelabuhan Tanjung Laut terdapat kawasan perusahaan raksasa PT. Badak yang mengeksploitasi gas bumi Bontang dan Kutai Kartanegara. Di sana ada kawasan pantai yang dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan. Kapal-kapal nelayan dilarang memasuki kawasan itu. Di pantai tersebut terdapat papan pengumuman ”dilarang menambatkan perahu di kawasan pantai Marina”. Seorang warga kampung, Rudi menyebut, mendekat sedikit saja ke kawasan pantai PT. Badak pasti ditegur oleh securitinya. Apalagi jika sudah sampai menambatkan perahu dipantai yang dulu menjadi milik umum sebelum PT. Badak beroperasi pada tahun 1978, sudah pasti diusir oleh sang pemilik pantai.
Kawasan yang kini manyandang nama baru, kelurahan Bontan Lestari ini terbilang penting. Betapa tidak stadion utama yang akan digunakan pada PON ke-17 dan gedung DPRD baru, sedang dibangun di sini. Menurut pak Anas Taneng yang juga staf lurah Bontang Lestari, ”alokasi pembangunan di kawasan Bontang Lestari sekitar 75 % dari seluruh anggaran pemkot Bontang tahun 2007.
Apa mau dikata, kampung Nyerakat ini tengah dikepung oleh tiga kekuatan raksasa : PT. Badak, PT. Indominco, dan proyek pengembangan kawasan kota Bontang Lestari oleh pemkot Bontang. Kepungan ini menjadikan warga Nyerakat semakin terdesak.
Ironi yang menyedihkan amat terasa di saat kita menyaksikan bagaimana perusahaan besar beroperasi di sekitar Nyerakat. Tetapi berbading terbalik dengan kondisi masyarakatnya dalam berbagai bidang. Sebutlah misalnya di Nyerakat penerangan desa masih menggunakan pembangkit tenaga surya yang dipasang di setiap rumah warga. Listrik tenaga matahari ini sama sekali tidak mamadai karena hanya mampu menarik maksimal 2 balon lampu. Olehnya itu mereka juga menyiapkan listrik tenaga diesel. Namun listrik yang satu ini terasa sangat membebani karena biayanya justru lebih mahal, dengan harga solar yang bisa mencapai Rp 6.000 / liter. Dalam penuturan pak Masdar, dia harus menyiapkan rata-rata 5 liter / malam untuk mesin dieselnya.
Di Nyerakat hampir setiap rumah menggunakan listrik diesel, hanya ada empat rumah yang tidak menjadi pelangganggannya. Ada 18 mesin listrik diesel yang digunakan oleh masyarakat Nyerakat. Rata-rata setiap satu mesin berannggotakan 4-5 rumah. Pola listrik ini juga berkaitan dengan pola formasi keluarga. Bagi masyarakat Nyerakat listrik ini menjadi penting untuk mengangkat air dengan menggunakan alkon dari dataran rendah untuk keperluan MCK. Di Nyerakat sumber-sumber air yang agak keruh berupa sumur-sumur kecil yang terletak di belakang pemukiman.

Dulu dusun sekarang RT.

Nyerakat adalah salah satu dusun di desa Sekambing. Sejak diubah menjadi kelurahaan pada tahun 2004, konsep dusun berubah menjadi RT. 8 dan 7 (berdasarkan sisi kiri dan kanan yang dibelah oleh jalan kampung). Perubahan ini bukan tanpa riwayat. Konon dikaitkan dengan program pemerintah yang tertuang dalam semboyan 4 (empat) pilar pembangunan kota Bontang, salah satunya apa yang dikenal dengan Bontang lestari. Sekambing menjadi korban penggusuran nama. Namun di masyarakat Nyerakat yang berpenduduk sekitar 310 orang ini ada bisik-bisik mengenai mengapa disebut lestari.
Pak Anas yang juga staf lurah Bontang Lestari menjelaskan mengapa disebut lestari. Menurutnya lestari dikaitkan dengan angan-angan pemkot Bontang untuk tetap menjaga lingkungan hidup agar tetap lestari dan asri. Namun logika pemkot Bontang ini berbanding terbalik dengan realitas sesungguhnya ketika puluhan mobil traktor mengaduk-aduk kawasan Nyerakat yang membuat malah tidak lestari. Benar kata kawan saya, pak Anto yang juga salah seorang generasi muda Nyerakat, lestari sesungguhnya adalah nama yang menyimpan penanda yang bukan realitasnya.
Lalu mengapa aparat birokrasi tiba-tiba punya rasa tidak enak menyebut nama seperti Sekambing. Bukankah sejak dulu-dulu orang-orang di Sekambing dan di Bontang tetap setia dengan penyebutan Sekambing.
Ini tentu bertalian dengan ditetapkannya desa ini sebagai pusat pengembangan kota. Sekambing diubah oleh pemerintah kota menjadi Bontang Lestari untuk tetap memastikan bahwa pembangunan itu tetap lestari. “Sekambing kurang enak didengar”, ujar pak Wali seperti yang ditirukan Thamrin, salah seorang warga Nyerakat yang juga ketua RT. 8. Sayang boro-boro mau lestari alamnya yang dulu rindang kini dibabat habis tak tersisa di sekitar pengembangan kawasan itu. Boleh jadi penamaan ini menjadi awal dari model penundukan sestematik untuk tetap memastikan mega proyek berjalan dengan mulus.
Sebenarnya janji akan mensejahterakan rakyat sudah terdengar dalam kampanye pemilihan Walikota Bontang pada tahun 2005. “Pak Sofyan waktu kampaye menjanjikan akan membangun Nyerakat ini, nah ternyata betul beliau memenuhinya dengan diadakannya pembangunan ini”, kata mak Kumala mengenang masa kampanye.
Tetapi benarkah kehadiran pembangunan ini untuk kepentingan mensejahterakan rakyatnya?. Salah seorang generasi muda Nyerakat, Sahrul mengatakan bahwa jika mengamati agak lebih dalam tentang pembangunan ini rupanya tidak akan menyediakan apa-apa bagi orang-orang di kampung. Ini juga bisa dilihat ketika basis pembangunan Bontang Lestari merusak banyak sitem ekologi dan kultural dalam masyarakatnya. Salah satunya mereka tidak dilibatkan dalam membincangkan tentang bagaimana konsep pembagunan yang dihadirkan kepada mereka. Termasuk pengakuan masyarakat seperti pak Midin yang mengaku tidak pernah diikutkan dalam pembahasan secara tuntas bagaimana pandangan masyarakat tentang kehadiran pembangunan di Nyerakat ini sebelum dilaksanakan. Memberi tahu sebelumnya bahwa akan ada proyek tidak pernah ada. “Pantas ada yang membeli tanah-tanah masyarakat di sini lebih dulu, ternyata untuk dibanguni stadion”, kata Midin.
Entah dari mana penamaan Sekambing itu. Tetapi banyak orang desa menyebut mungkin berkaitan dengan kambing yang dulu banyak dipelihara di desa ini. Tetapi yang pasti desa Sekambing punya riwayatnya sendiri. Misalnya saja di setiap kampung-kampung di desa ini tetap eksis seperti di Nyerakat dengan ritual bebalainya.
Meski aparat pemerintah enggan menyebut desa Sekambing, orang-orang kampung masih tetap setia dengan penyebutan nama itu. “Ya mau bagaimana lagi penyebutan Sekambing sudah sejak lama”, kata Thamrin.
Kawasan yang saat ini di sebut Botang Lestari dulunya dihuni oleh beberapa komunitas, seperti Nyerakat, Segendis, Nyerakat Kiri, Teluk Kadere, Santan, Pagung, Baltim, dan Sekangat. Konsep Bontang Lestari ini melebur berbagai komunitas itu menjadi satu kelurahan yang disebut sebagai Bontang Lestari.
Nyerakat mulai dihuni pada tahun 1942, ketika orang-orang Jepang mulai mendarat di tanah Bontang. Ada 4 (empat) rumah yang mula-mula membuka hunian baru ini. Konon motifnya adalah bersembunyi dari kejaran orang Jepang yang mulai menyisir daerah Pantai. Nyerakat menjadi salah satu tempat yang dipilih karena tempatnya agak tersembunyi oleh bakau yang menyelimuti di bagian pantainya. Hutan bakau ini mencapai 1 km dari bibir pelabuhan kampung ke Muara. Rombongan berikutnya datang dari Bontang Kuala dan Sekangat sekitar tahun 1969, ketika sedang ramai-ramainya orang kerja Banjirkap. Atau apa yang dikenal sebagai masa batang pendek.
Kegiatan orang-orang yang pertama membuka hunian ini, dimulai dengan membuka ladang-ladang baru untuk pertanian. Di antara mereka adalah pak Nuhung. Kampung yang diberi nama Nyerakat ini, sesuai dengan nama kayu yang banyak tumbuh di tempat ini. Kayu jenis Nyerakat terkenal kuat untuk keperluan bahan membuat perahu. Selain itu Nyerakat dikaitkan dengan keinginan masyarakatnya untuk tetap rekat dan rukun.
Sejak awal masyarakat Nyerakat rupanya terdiri dari masyarakat campuran dari berbagai suku, hingga membentuk satu masyarakat yang mereka sebut sebagai Melayu Bontang. Orang-orang Bontang Kuala dan Nyerakat lebih senang dengan sebutan Melayu Bontang dibanding dengan Kutai. Untuk melihat lebih jelas terletak pada bahasa yang mereka gunakan.
Boleh jadi ini menjadi penanda bahwa bahasa mereka saling mengambil. Bahasa yang mereka gunakan terdapat kosa kata yang mirip bahasa Bugis, seperti mengapa kau gadoi (kenapa kamu campuri), bahasa Melayu Malaysia, seperti ini bukanlah urusan budak-budak (ini bukan urusan anak-anak), dan ada juga tak hendakku atau biasa disingkat tekendakku (saya tidak mau). Ada juga istilah-istilah yang mirip-mirip bahasa Makassar, semisal sandro (dukun).
Tetapi diksi yang paling dominan mereka gunakan rupanya bahasa Kutai. Seperti kata yang sering saya dengar dalam akhiran maaha. Misalnya berdua maaha (berdua saja). Namun ucapan maaha dalam bahasa orang Nyerakat berbeda bunyi dengan kosa kata maha Kutai Tenggarong. Orang Nyerakat lebih panjang pada vokal a pada kata maaha.
Di Bontang Kuala, terutama generasi tuanya rata-rata dapat berbahasa Bugis, Mandar, dan Bajo. Pak Kasim misalnya dapat berkomunikasi dalam berbagai bahasa seperti Bugis, Bajo, dan Melayu. Multilingual ini bisa menjadi tanda bagaimana mereka bergaul secara intim dengan berbagai komunitas suku lain.
Selain nampak dari bahasa mereka, juga ada cerita yang menyebut bahwa sejak awal tempat-tempat awal di Bontang seperti Senganakan, Bontang Kuala, dan pulau Selangan menjadi tempat-tempat awal campur-baurnya suku Bontang Kuala. Menurut mereka dulu tempat-tempat itu adalah tempat berkumpulnya orang-orang Bugis, Kutai, Bajo, bahkan juga ada beberapa orang Cina.
Bukti yang menguatkan hal ini, sejak dulu di Bontang Kuala dan Sekangat ada festival kesenian rakyat yang di dalamnya ada mamanda (sandiwara khas Kutai yang biasa berisi peran tentang riwayat kesultanan), jepenan, terbangan, kuntaw (pencak silat). Sementara untuk laku ritualnya terdapat Bebalai, Ance (membuang pisang), mandi bunga (pernikahan adat), nurungkan pisang (mappeno salo’), lepas ayam (untuk menenangkan orang halus), dan mandi buyu (mandi untuk anak bayi yang terkena penyakit khusus balita).
Kesenian dan ritual ini tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Nyerakat hingga saat ini. Pertunjukan sandiwara mamanda dan kesenian lainnya dilakukan di sela-sela ritual bebalai yang dulu dilakukan seminggu atau sebelas hari. Namun belakangan kesenian rakyat seperti mamanda dan jepenan agak redup dibanding dengan ritual bebalai dan yang lainnya yang tetap berlangsung.
Ritual bebalai yang juga dikenal ritual pengobatan masih tetap eksis di Masyarakat Nyerakat. Ritual yang sudah turun temurun ini, dilaksanakan biasanya di akhir tahun. Ritual ini diawali dengan mengundang dan menghadirkan para arwah leluhur, penunggu atau penguasa laut, karang, sungai, kampung, dan hutan yang mereka sebut sebagai sahabat, untuk hadir di tempat ritual. Di samping itu juga mengundang semua komunitasnya untuk hadir mengobati diri, agar tetap sehat tubuh dan jiwa (roh). Tarian diiringi musik khas (gong, kelintangan, dan dua buah gendang) selalu mengiringi ritual ini.
Langkah dan hentakan kaki Kumala yang menyerupai tarian diikuti keluarga dan warga yang lain, hingga membentuk putaran yang tidak terputus. Mereka mengelilingi balai yang terbuat dari bambu persegi empat (1 x 1 m, tinggi 2,5 m) yang penuh dengan sesajen. Sambil larut dalam suara musik dan tarian bebalai. Mereka yang ikut dalam pusaran dan mengelilingi balai beberapa kali dianggap sudah bisa dipolesi pinang mayang (pucuk kelapa) untuk diobati.
Bunyi musik bebalai ini memecahkan kesunyian malam, dan pemicu bagi semua komunitas Nyerakat untuk segera hadir di tempat ritual. Jika Kumala sudah mulai menari dan mengelilingi balai, mulai satu persatu warga kampung Nyerakat hadir di tempat ritual berlangsung. Ritual ini berlangsung di malam hari selama tiga-empat malam. Kehadiran penduduk kominitas ini, penunggu laut, darat, sungai, karang, dan hutan lalu menyatu dalam ritual yang mereka sebut bebalai.
Bukan hanya penduduk Nyerakat, tapi komunitas Bontang Kuala, pulau Selangan dan Melahing yang juga masih dalam satu komunitas suku Bontang Kuala, juga turut hadir dalam ritual ini. Kampung Nyerakat menjadi sebuah tempat penuh pesona. Upacara berkumpulnya arwah leluhur dan penguasa alam dan penduduk kampung. Pesta pesona ini akan lebih lengkap di saat para penduduk ikut menari sambil mengelilingi balai disertai tubuh yang trance sebagai tanda keakraban di antara mereka.
Sebetulnya ritual bebalai masih menjadi perdebatan dalam keluarga. Ada yang mengatakan bahwa ritual bebalai adalah ritual pengobatan warisan dari suku Kutai. Tetapi juga ada yang mengatakan bahwa bebalai adalah ritual dari Makassar yang dibawa oleh kakek Mak Kumala yang kemudian dilanjutkan oleh pak Abad, tepatnya di pulau yang sekarang ada di depan Kota Makassar. Dalam ingatan Mak Beda bahwa ritual ini konon berasal dari Makassar, “saya pernah diceritakan oleh ayah saya bahwa katanya dulu waktu masih di Makassar kalau sudah dilarung itu balai semua orang yang turun di laut tidak basah”, ujar Mak Beda.
Tetapi bagi Pak Midin yang juga menantu Mak Malak, mengaku ada beberapa kesamaan antara bebalai dan ritual belian pada masyarakat Benuaq Tunjung. Salah satu buktinya tempat bebalainya dan cara berputarnya. Kesamaan juga nampak pada warna yang dominan yang digunakan seperti baju dan beras kuning.
Kebiasaan ini juga mirip yang biasa dilakukan oleh masyarakat Kutai. Bagi masyarakat Kutai, beras kuning juga sering digunakan dalam laku budaya dan ritus mereka. Bagi masyarakat penganutnya, seperti Mak Kumala, Mak Beda dan yang lainnya, bebalai ini nampaknya lebih tepat disebut sebagai ritual yang memang saling mengambil. Contohnya saja mantra-mantra yang digunakan juga dari berbagai bahasa. ”Ada bahasa Kutai, ada Bugis, dan ada juga yang kayak biasa ini”, ujar Mak Kumala. Mak Beda memastikan ritual yang didapatkan secara turun-temurun itu asalnya dari Makassar tetapi sudah bercampur dengan ritual yang lainnya.


Kehancuran berawal dari Banjirkap

“Setelah naiknya Presiden Soeharto, kita masyarakat semacam ada perintah dari Presiden Soeharto untuk menebangi kayu panjang 4 meter”, ujar Kadir.
Menurut kesaksian penduduk kampung, tidak lama setelah naiknya Soeharto ke pucuk pimpinan nasional, kapal-kapal berbendera Jepang mulai mendarat di Bontang. Mereka siap membeli kayu dari penduduk. Orang Jepang membeli kayu yang berukuran 4 meter dengan diameter mulai 60 cm.
Kedatangan kapal ini membuat orang-orang Bontang Kuala, Sekangat, dan Nyerakat ikut melayani permintaan Jepang itu. Mereka lalu mulai menebangi kayu di kawasan Bontang dan sekitarnya. Peristiwa ini dikenal sebagai Banjirkap.
Disebut banjirkap karena menunggu air pasang di saat kayu-kayu mudah diseret ke laut untuk selanjutnya diangkat naik ke kapal milik Jepang. Dengan menggunakan teknologi seadanya, seperti gergaji penduduk kampung mulai menebangi kayunya sendiri. Kayu-kayu itu dibeli oleh orang Jepang dengan harga Rp. 150,- - Rp. 200,- / kubik. “Ya kita ini orang kecil yang butuh makan, paksalah kita ikut nebangi kayu”, ujar Kasim (62).
Peristiwa banjirkap ini juga memicu migran besar-besaran dari pulau Sulawesi untuk bekerja sebagai pekerja kayu. Banjirkap mulai meredup di saat kapal berbendera Jepang menolak batang pendek dengan mengganti batang panjang dan tidak menerima langsung lagi dari masyarakat umum. Mereka jugalah yang mengajari masyarkat untuk menggunakan mesin penebang pohon (sengso) yang dimulai pada tahun 1970.
Tahun 1969, orang-orang Bontang Kuala mulai berdatangan di Nyerakat, setelah sebelumnya mereka mendiami Sekangat. Karena alasan tidak cocok lagi untuk pertanian mereka lalu meninggalkan hunian itu dan hijrah ke daerah hunian baru yang bernama Nyerakat.
Awalnya penduduk mulai mengerjakan ladang di sisi barat dan utara kampung. Mereka bekerja menurut kelompok keluarga. Ladang-ladang yang mereka garap itu semakin jauh dan mulai tidak subur lagi. Sawah yang digarap juga tidak terlalu luas yang mencapai 20 hektar. Di tahun 1996 ada pembentukan kelompok tani. Pak Masdar sendiri punya kelompok tani yang beranggotakan 30 orang. Mereka biasanya menghasilkan 100 - 200 kaleng padi / hektare.
Selain PT. Badak yang mulai menginjakkan kakinya di Bontang yang dulu bernama Satimpo. Tahun 1995 giliran perusahaan batubara PT. Indominco Mandiri memulai menggarap emas hitam (batubara) di Nyerakat Dalam. Kampung Nyerakat sendiri menjadi basecamp-nya para pekerja tambang Indominco untuk mengeksploitasi batubara yang dimulai dengan pembuatan jalan.
Orang-orang Nyerakat mulai ada yang bergabung bekerja di perusahaan Indominco dan PAMA, tanpa ada persyaratan Ijazah. “Dulu orang-orang kerja tak perlu ijazah, yang mau kerja pasti masuk, sekarang harus ada ijazah minimal SMA itupun harus melalui tes kiri-kanan”, ujar Kumala.
Meski kebanyakan anak-anak muda kampung Nyerakat bekerja di perusahaan Indominco, persawahan yang mereka garap juga jalan. Tahun 1998 sawah mereka mengalami puso, akibat serangan tikus dan keong. Tahun 1999 menjadi tahun kenangan manis penduduk kampung karena menjadi panen terakhir.
Menurut pak Dulla, yang juga mantan kepala dusun Nyerakat bahwa warga kampung sudah tidak sanggup lagi menggarap sawahnya karena tinggal orang-orang tua. Sementara anak muda sudah mulai enggang menggarap sawahnya. “Anak-anak muda lebih suka kerja di perusahaan di banding dengan menggarap sawah. Karena lebih jelas. Habis bulan terima gaji. Tidak kayak sawah, kerja belum tentu ada hasilnya”, ujar pak Dulla.

Berebut tanah

Jalan Flores yang menghubungkan kawasan pengembangan Bontang Lestari dengan kota Bontang nampaknya menyimpan riwayat tersendiri bagi orang-orang Nyerakat. Panjang jalan yang akan direnovasi (diperlebar untuk dijadikan jalur dua) ini 22 km, lebar 22 meter. Tak satu meterpun tanah rakyat sepanjang itu dibayar oleh pemerintah. Mereka yang menuntut haknya cepat-cepat dicap sebagai pembangkan.
Menurut warga, mereka hanya mendapat Rp. 3.000.000,- bagi yang kena gusur rumah. Itu juga bukan dari pemerintah, tetapi konon atas kebaikan hati H. Arbain yang kebetulan menjadi kontraktor jalan ini. Warga saat ini memilih menyewakan sebagian rumah yang dipakai oleh perusahaan yang mengerjakan proyek jalan. Misalnya apa yang dilakukan oleh Mak Bian yang menyewakan ruang tamu rumahnya untuk dijadikan kantor oleh pekerja jalan.
Lain lagi di kawasan GOR Bontang. Tanah milik rakyat itu jauh sebelum pembangunan stadion, terlebih dahulu dibeli oleh H. Arbain dengan harga yag murah. Lalu pemerintah membeli lagi dari H. Arbain dengan harga yang tentu lebih mahal. “Ya, maklum kita ini masyarakat kecil tidak tahu apa-apa”, kata Mak Bian. Konon H. Arbain yang dikenal dekat dengan pak Wali Kota Bontang. Ia beli dari warga Rp. 3000 – Rp. 5000 / meter. Sementara ia jual lagi ke pemerintah kota Bontang Rp. 25.000 / meter. Hamparan tanah yang dulu milik para petani yang segera akan menjadi stadion utama Bontang luasnya mencapai sekitar 50 hektar.
Kondisi kampung yang seperti ini memicu banyaknya terjadi kasus tanah. Paling tidak pola kasus tanah lebih banyak karena tidak memiliki surat tanah. Tanah-tanah rakyat yang tidak punya surat rentang dicaplok negara (pemerintah kota Bontang). Soal tumpang tindih kepemilikan tanah ini juga mencuat. Terdapat dua kepemilikan tanah, masing-masing punya riwayat kepemilikan (pernah mengelola) pada tanah yang sama.
Dan juga soal batas-batas tanah yang tidak jelas ukurannya. Batas yang tidak jelas ini, terjadi ketika pembuatan surat keterangan yang tidak diukur dengan baik. “Pembuatan surat-surat tanah di awal-awal hanya diperkirakan saja. Misalnya ditulis 1 hektar padahal setelah diukur bisa kurang bisa juga lebih”, ujar Thamrin yang juga ketua RT. 8.
Ada juga sengketa soal hibah atau wakaf. Misalnya tanah yang ditempati mesjid Nyerakat diminta untuk dibayarkan oleh pemiliknya yang dikenal tuan tanah, Nenek Kaili. Padahal menurut warga kampung, tanah itu sudah dihibahkan (diwaqafkan) oleh suaminya. Tetapi karena tidak ada hitam di atas putih (surat keterangan). “Mungkin suaminya tidak memberi tahu kepada istrinya sebelum meninggal, akibatnya istrinya (Nenek Kaili) menuntut kembali, papar Mak Kumala.
Yang paling menyedihkan, kampung Nyerakat untuk saat ini tidak memiliki tanah pekuburan. Pemilik tanah sudah tidak membolehkan lagi untuk ditempati. “Padahal itu sangat penting, kalau soal tanah pekuburan ini sudah jelas, kami sudah merasa lega”, ujar ketua RT. 8.
Tanah-tanah di sekitar kampung Nyerakat menjadi rebutan para pialang. Di sebelah utara kampung terdapat empang yang luasnya sekitar 7 hektar. Tambak (empang) H. Ambo memiliki tujuh petak yang luasnya sekitar 4 hektar. Menurut pekerjanya, Ian, dulunya empang ini milik orang-orang Nyerakat. Tetapi dijual sama orang Bontang sana bernama H. Ambo. Sementara di sebelahnya ada juga 3 petak empang yang luasnya 3 hektar milik pak Aziz, yang juga pemilik hotel Sanrego di kota Bontang.
Tidak jauh dari kawasan pembangunan stadion, juga ada areal yang sedang dibangun di atasnya gedung baru para wakil rakyat yang luasnya mencapai 40 hektar. Dan yang tidak kalah luasnya perumahan KORPRI di sisi selatan kampung Nyerakat, sekitar 68 hektar. Di dekatnya ada SD dan SMP baru yang mencapai 38 hektar. Di utara ada 32 hektar yang akan dibangun di atasnya STITEK (Sekolah Tinggi Ilmu Teknologi). Di samping STITEK terdapat tanah yang juga baru dibebaskan pemkot Bontang. “Itu saya tidak tahu untuk apa, pokonya di sini lagi ramai-ramainya pemerintah membebaskan lahan”, kata seorang warga Nyerakat.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan pesan-pesan yang selalu disampaikan pak Walikota dalam berbagai kesempatan agar masyarakat tidak menjual semua tanah-tanah di Nyerakat. “Masyarakat seperti di Nyerakat ini jangan menjual semua tanahnya” kata pak Wali seperti yang ditirukan pak Dulla.
Yang terakhir, tepatnya di ujung desa Sekambing ada hamparan tanah seluas 65 hektar yang baru saja dibebaskan oleh Pemkot Bontang. Kelihatannya pemkot Bontang ingin membebaskan semua tanah yang ada di Sekambing. Pada sisi lain, ada usaha mempersulit warga untuk mengurus surat-surat tanah, dibuktikan dengan keharusan membayar biaya administrasi yang konon memberatkan warganya sendiri.
Tanah-tanah rakyat yang masih tersisa dan terancam saat ini adalah tanah yang sedang dipakai berkebun. Kebun-kebun rakyat yang ada di Nyerakat kebanyakan berisi sayur-sayuran dan lombok. Setiap hari seorang pengumpul (tengkulak), pak Salam namanya mengumpulkan hasil kebun warga, lalu membawanya ke kota Bontang untuk dijual di pasar-pasar yang ada di Bontang.
Rata-rata mereka menggarap tanah perkebunan yang luasnya sekitar setengah hektar. Kebun orang Nyerakat berisi kacang panjang, lombok, dan sayur-sayuran. Seorang petani lombok Ahmidin misalnya, rata-rata panen lomboknya mencapai 3 kg setiap hari dengan harga Rp. 8.000,- / kg. Ia jual sama pak Salam.
Hasil kebun itulah yang membuat sementara untuk tetap bisa bertahan dalam himpitan hidup yang kian berat. Meski kebun yang saat ini punya tiga ribu pohon lombok masih menggarap tanah pinjaman. Bagi Ahmidin lebih senang memilih berkebun ketimbang kerja di proyek-proyek yang kerja tidak tetap. “Dulu saya kerja di perusahaan-perusahaan dekat kampung ini, tetapi kerja kontrak 2 - 3 bulan berhenti lagi, tetapi kalau kerja kebun ya terus-terus ada kegaitan, meskipun saya hanya cukup makan sehari-hari saja”, kata Ahmidin.

Harapan dan masalah baru

Riwayat pembangunan di Nyerakat memunculkan harapan baru. Pada satu sisi mereka ingin mempertahankan tanah-tanah meraka, namun sisi lain mereka dihadapkan pada himpitan ekonomi. Kehadiran mega proyek yang di sebut Bontang Lestari membuka harapan baru bagi sebagian warga. Meskipun sebagian yang lain, merasa tidak punya pengaruh apa-apa. Sahrul misalnya mengakui kehadiran bangunan yang baru tidak puya pengaruh apa-apa baginya. “Kehadiran gedung-gedung pemerintah rasanya tidak berpengaruh apa-apa sama kita orang kecil ini”, kata Sahrul.
Lebih lanjut Sahrul mengatakan bahwa jika saja masih ada orang kampung yang tidak punya kerja dan pemerintah tidak memfasilitasinya, berarti mereka itu sudah menyalahi apa yang dijanjikan di saat pawai (kampanye). Hal senada dikatakan oleh pak Ali bahwa berkebun adalah pertahanan yang paling terakhir. “Kalau kami tidak berkebun ya mati, mau masuk perusahaan sudah tua begini. Apalagi saya tidak pernah sekolah”, lanjut Ali, yang saat ini punya kebun kacang panjang seluas 2 x lapangan volly.
Warga lain memilih menaruh harapan besar. Pak Dulla mengatakan dulu misalnya anak-anak harus jauh-jauh sekolah ke Bontang. Sekarang ini sudah ada dibangun SMP dan sebentar lagi akan berfungsi. Jika pak Dulla berharap anak-anaknya bisa sekolah, Rudi mengaku ingin bekerja di gedung-gedung pemerintahan yang sedang dibangun itu. “Saya mungkin hanya bisa jadi tukang sapu di stadion dan di gedung DPRD baru” papar Rudi. Warga lainnya berharap kehadiran gedung DPRD baru, bisa menjadikan para wakil rakyat semakin dekat melihat realitas masyarakatnya.
Hadirnya proyek gedung-gedung pemerintahan baru bukan tanpa masalah, malah menambah deret persoalan. Di desa yang dulu bernama Sekambing ini, ada kesibukan baru warganya yakni banyak menerima penawaran pembelian tanah dari orang-orang kota. Tidak urung membuat warga desa khusunya Nyerakat sibuk mengukur tanah-tanah mereka. Dalam pengamatan saya di rumah pak Masdar paling tidak selama seminggu ada tiga orang yang datang menawar tanah milik pak Masdar.
“Saya sering didatangi orang kota untuk membeli tanah, atau sekedar bertanya tentang keberadaan tanah yang ada di kampung ini, tetapi saya sudah berhati-hati karena di samping sekarang orang-orang kota mau menguasasi tanah-tanah yang ada di kampung ini mereka juga sering menipu, seperti tanah saya sampai saat ini belum dibayar-bayar sama pak Haji Iwan”, katanya bernada kesal.
Kondisi ini membuat formasi keluarga juga semakin menegang. Di belakang kampung Nyerakat di sebelah barat terdapat tanah setengah hektar yang pernah menjadi sengketa antara keluarga Hatta dengan Ali, yang masih satu rumpung keluarga. Istri Ali masih sepupu sekali dengan Hatta. Perseteruannya kian memuncak ketika semakin mahalnya harga-harga tanah di Nyerakat. Pak Ali mengaku pemilik sah tanah tersebut, karena ialah yang pernah menggarap tanah itu. Namun pernah di tinggal selama dua tahun ketika ia memilih melaut di pulau Selangan. “Tapi sekarang kami sudah berbagi. Sebagian saya berikan sama pak Hatta”, ujar Ali.

Selamat tinggal pertanian

Riwayat pertanian di dataran rendah Nyerakat tinggal menjadi kenangan. Tahun 1999 adalah masa di mana masyarakat Nyerakat tidak lagi menggarap sawah-sawahnya. Menurut Mak Bian yang dulu pernah menggarap persawahan, masyarakat mulai kesulitan menggarap tanah karena banyaknya keong, tikus, dan burung pipit yang ganas menyerang padi-padi mereka. “Bagaimana kita tidak berhenti, kita menanam padi sekaleng yang kembali haya sekaleng”, ujar Sahrul.
Selain serangan tikus yang ganas, kehadiran perusahan seperti PAMA dan Indominco Mandiri menjadi penyebab macetnya pertanian rakyat. Konon sawah-sawah yang ada di dataran rendah Nyerakat pernah tercemar limbah dari perusahaan Indominco Mandiri, karena aktifitas pencucian alat-alat berat dari dataran tinggi, mengalir ke sawah-sawah milik rakyat. “Saya mencium air di persawahan, kok bau gas (minyak), wah rupanya air bekas cucian mobil perusahaan”, ujar Masdar. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sebetulnya penyebab macetnya pertanian sawah di kampung Nyerakat salah satunya limbah Perusahaan.
Bukan hanya pengaruh limbah, tetapi aktifitas perusahaan Indominco Mandiri yang sudah ada sejak tahun 1996 itu mengundang minat baru para pemuda untuk bekerja di sana. Akibatnya para pemuda sudah enggan lagi untuk menggarap sawah-sawanya. Sejak kehadiran perusahaan mengubah minat kerja. Banyak warga memilih bekerja di perusahaan ketimbang menggarap pertaniannya. Meski saat ini warga Nyerakat hanya ada lima orang yang masih bekerja pada perusahaan batubara.
Selain pengaruh kuat perusahaan, kepulan asap hasil dari obor PT. Badak yang kemudian membentuk awan juga punya riwayat tersendiri. Dalam pengalaman warga Nyerakat dan Bontang Kuala, bagi mereka jika kemarau lama dan kemudian hujan turun tidak bisa langsung di ambil airnya, karena biasanya warnanya hitam seperti tinta. “Jika hujan biasanya bening, di Bontang Kuala saya pernah melihat hujan warnanya hitam, itu akibat asap dari PT. Badak”, ujar salah seorang warga Bontang Kuala. Konon riwayat asap ini berpengaruh pada tanaman pisang dan sawah tadah hujan mereka. Bukan hanya di Nyerakat tetapi hampir seluruh Bontang.
Di tahun 2000-an ketika perusahaan ketat menerima karyawannya, warga Nyerakat mulai kembali melirik tanah perkebunannya. Di saat sudah dalam kepungan pembangunanisme yang tengah mengepung kampung Nyerakat.
Sahrul mengaku bahwa warga kampung saat ini yang bertani dan berkebun belum tentu dapat dinikmati hasilnya, mengingat terlalu banyaknya hama dan sulitnya mengembangkan usaha perkebunan. Umumnya mereka bekerja yang cepat mendapatkan uang. Mereka sambil bertani juga sambil melaut. “Yang mana cepat mendapatkan uang itu yang kami kerjakan”, ujar Sahrul.
Di saat masyarakat Nyerakat sudah sulit lagi untuk diterima bekerja di perusahaan, lahan-lahan pertanian sudah tidak lagi mamadai untuk mengembangkan kawasan pertanian. Mengingat kepemilikan lahan-lahan rakyat sudah hampir sepenuhya dalam genggaman orang-orang kota. Padahal menurut pengakuan pak Anas, kawasan Bontang Lestari adalah kawasan yang cocok untuk pengembangan pertanian.

Pantai bukan untuk umum

Sejatinya masyarakat seperti di Nyerakat, pulau Selangan dan di Tanjung Laut memiliki ruang yang tak terbatas di saat beraktifitas mencari ikan di laut. Tetapi semenjak perusahaan masuk, ruang gerak para nelayan semakin sempit. Orang-orang Nyerakat dan pulau Selangan harus mematuhi areal yang tidak bisa dimasuki.
Di bagian timur pantai, terdapat pelabuhan akhir milik PT. Indominco Mandiri. Di utara terdapat kawasan PT. Badak yang lengkap dengan pelabuhan dan pantai Marina-nya. Di laut lepas harus bersikap hati-hati dengan kapal-kapal raksasa yang memuat minyak PT. Badak. “Mendekat sedikit ke pantai PT. Badak ditegur sama securitinya, bergerak ke arah timur ada Indominco. Wah kita ini semakin terjepit”, ujar Rudi yang sering mencari ikan di dekat PT. Badak. Seorang warga Nyerakat mengaku pernah dipukul petugas security PT. Badak, lantaran ia pernah menyalip di depan tengker pembawa minyak. “Saya memang salah, karena menyalip tetapi yang tidak saya setuju karena terus main pukul”, kisah Ian.
“Belum lagi speed boat milik orang-orang perusahaan seringkali berperilaku kurang ajar yang menyambar rengge (jaring) yang dipasang di sekitar pulau ini (Selangan)”, kata salah seorang warga pulau Selangan.
Rudi, Ian, dan warga Nyerakat lainnya kini merasa betapa sulitnya untuk bertahan hidup. Untuk menjadi nelayan saja harus punya uang Rp. 7.000.000,- untuk dapat membeli perahu dan mesinnya. Ditambah lagi dengan harga minyak yang selangit. BBM jenis solar di Nyerakat dapat mencapai Rp. 6000,-
Begitu juga untuk memiliki kebun yang terpelihara dari hama harus menyediakan pupuk yang beragam bentuknya. Pak Midin sampai mengoleksi pupuk buah lima macam dalam berbagai merek yang juga tidak murah. Pupuk buahnya yang bermerek grentonik saja mencapai Rp. 8000,-
Pak Midin tidak tahu lagi jika nanti tanah-tanah yang digarapnya diambil oleh pemiliknya. Yang pasti ia sekarang sedang dalam himpitan hidup yang kian hari kian menjadi. Kisah sedih pak Rudi, Ian yang sekarang memancing ikan seadanya dan Pak Midin menjadi potret buram para petani dan nelayan di Nyerakat.

Agama dan ritual

“Kadang juga ada yang bilang, acara apa itu memanggil setan, padahal mereka tidak tahu kalau tidak dilakukan banyak orang yang sakit”. (Masniah, salah seorang warga Nyerakat).
Amatan pertama saya di saat masuk kampung ini adalah sebuah mesjid yang berada di ujung timur kampung. Awalnya saya menduga pasti sama dengan kampung lain yang berpenduduk muslim yang ramai dengan kegiatan shalat jamaahnya. Namun segera dugaan saya itu meleset, saat waktu shalat magrib tiba. Masyarakat kampung tidak seramai yang saya duga dengan memenuhi shalat jamaah setiap waktu shalat. Suatu ketika saya mengamati jamaah magrib yang ada hanya tujuh jamaah. Empat warga setempat; tiga anak-anak dan satu orang dewasa. Yang lainnya ada dua orang pekerja jalan.
Shalat Ju’mat berbeda dengan shalat lima waktu lainnya. Sekitar 40-an orang terlihat memenuhi mesjid Nurul Hidayah Nyerakat yang seluas 8 x 8 m itu. Seorang pendakwah dari kota Bontang yang tergabung dalam Badan Koordinasi Dakwah Islamiyah Bontang (BKDIB), menyampaikan ajakan dan nasehat-nasehatnya. Salah satunya mengajak seluruh jamaah mesjid yang sudah ada sejak tahun 1977 itu untuk berbuat baik dengan tidak mensyarikatkan Tuhan.
Bagi Masdar, apa yang disampaikan oleh pengkhotbah itu, tidak bisa dikatakan salah. Menurutnya itu pandangan dia dalam memahami agama. Meskipun juga pak Masdar punya cara sendiri dalam memahami agama. Yang paling penting menurutnya adalah awwaluddin ma’rifatullah, dari awal sampai akhir. Artinya manusia harus sempurna mengenal Tuhan dan orang. Mengenal orang juga tidak dengan kira-kira. Soal penilaian Tuhan jugalah yang paling tahu, siapa diri kita dan siapa diri orang lain.
Selain shalat Ju’mat yang khusus bagi kaum laki-laki, tak ketinggalan juga kaum ibu-ibu melaksanakan kegiatan religinya dengan kegiatan Yasinan mingguan yang juga dirangkai dengan arisan. Sejak tahun 2001, kegiatan arisan dan yasinan yang penuh dengan pujian kepada kanjeng Nabi ini mulai dilaksanakan di Nyerakat atas usulan Mak Kumala. Menurutnya, kegiatan yang diikuti oleh 36 orang itu dilaksanakan supaya ada kegiatan, dan orang-orang kampung tidak berkelahi. “Supaya sadar semua, jangan berkelahi”, ujar Kumala sambil tertawa kecil. Hal itu juga dibenarkan oleh ketua kelompok yasinan, Siti Rokaseh bahwa bukan arisannya yang dipentingkan tetapi kumpul-kumpulnya.
Kalau Mak Ipin punya cerita lain, yasinan hanya supaya ada kegiatan saja. Sekedar mengisi waktu luang untuk ibu-ibu di kampung. “Yasinan ini supaya ada kegiatan saja. Kerena di kampung kita ini tidak ada kegiatan, maka diadakanlah yasinan”, ujar Mak Ipin.
Selepas ritual baru yang bernama yasinan ini, muncul beraneka ragam cerita di antara mereka. Ada yang berkisah tentang soal tanah yang belakangan marak diperbincangan di lingkungan Nyerakat. Terdapat juga cerita tentang tafsir agama. Salah satunya mengenai ritus haji, yang menurut mereka tidak usah terlalu sibuk bernapsu naik haji karena di dalam tubuh sendiri sudah terdapat makna dan simbol haji. “Kalau orang tahu ka’bah itu sudah ada dalam diri manusia. Jadi ngapain pergi haji, itu kata orang yang tahu”, kata Beda, salah seorang peserta yasinan.
Lain Mak Beda, lain pula Mak Kumala. Menurut Kumala yang mengaku jika tanahnya dibayarkan akan menunaikan haji ke tanah suci. Berhaji itu penting untuk menyempurnakan peribadatan seseorang dalam pengabdiannya kepada Tuhan. Selain itu, haji bagi Mak Kumala supaya juga menguatkan bahwa ritual bebalai tidak lagi dianggap sebagai praktik syirik.
Boleh jadi bagi orang kampung, yasinan ini adalah sarana untuk menyatukan penduduk. Tetapi boleh juga menjadi semacam tameng untuk menangkal stigmatisasi yang selama ini menimpa komunitas ini. Hal itu bisa dilihat bahwa yasinan ini bersamaan dengan seringya Mak Kumala diundang dalam acara pesta laut yang dikemas oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Bontang di Bontang Kuala.
Stigma atas ritual yang dilakoni oleh komunitas ini ramai berdatangan dari luar. Misalnya dari MUI Bontang yang terjadi pada 2003 silam. Salah satunya bahwa praktek ritual semisal bebalai, ance, dan yang lainnya dianggap sebagai lakon syirik melanggar ketentuan agama. Pandangan bernada miring itu dibantah oleh komunitas Bontang Kuala maupun warga Nyerakat. Menurut mereka ritual yang menggunakan orang halus tidak bisa dianggap sebagai musyrik, karena bagi mereka meminta sesuatu tetap ditujukan kepada yang Maha Kuasa.
“Ada orang mengatakan bahwa perbuatan orang Bontang itu musyrik. Kita ini tidak meminta kepada si bambo, kepada daun-daun. Mereka tidak tahu, sebab adat seperti ini di mana-mana ada, di Jawa, Sulawesi”, kata seorang pria asal Sulawesi yang menikah dengan orang Bontang Kuala.
Hal yang sama juga dikatakan pak Masdar yang juga suami Kumala, bahwa dalam mengobati, permintaan ditujukan kepada Tuhan untuk menunjukkan kekuasaannya dengan menyembuhkan orang ini lewat mantra-mantra, bukan meminta kepada syetan dan bukan juga kepada patung.
Di Nyerakat dan Bontang Kuala ada beberapa ritual yang masih bertahan. Di antaranya bebalai, ance, dan samper yang biasanya dilaksanakan setiap tahun. Selain itu ritual yang dapat dilakukan setiap saat misalnya, buang pisang (larung pisang), mandi buyu (mandi penyakit untuk anak bayi), dan mandi pesili (mandi tolak bala bagi penganten baru). Sering juga disebut sebagai mandi bunga yang konon ritual ini berasal dari orang-orang Bugis.
Mandi ini diyakini sebagai tradisi perkawinan sebelum datangnya Islam. Bagi mereka mandi bunga menjadi sebuah keharusan bagi setiap pasangan pengantin baru. Jika tidak akan memunculkan banyak keburukan semisal bercerai, dan sakit keras seperti gila.
Cerita tentang mandi bunga ini bagi saya punya kesan tersendiri. Suatu hari di saat saya dan Mak Kumala menunggu orang dari Tanjung Laut (orang-orang kota) untuk melaksanakan mandi pesili yang sakral itu, terpaksa harus dibatalkan lantaran mereka mendapat musibah. Mobil yang rencananya akan dipakai ke Nyerakat ditabrak orang. Jadilah mereka mengurungkan niatnya untuk mandi pesili di hari ahad ini.
Konon mereka tidak ziarah kubur sebelum berangkat mandi pesili. Makanya mereka urungkan niat untuk sementara dan belum ada hari yang pasti untuk mandi bunga bagi pasangan yang sudah masing-masing pernah kawin sebelumnya ini.
Mereka ingin dimandi pesili. Pasalnya punya pengalaman buruk seputar tidak dilakukannya mandi yang sarat dengan bunga ini. Riwayat perkawinan Masriah yang masih ponakan Mamak Kumala dengan suami pertama dan keduanya berakhir dengan perceraian. Diyakini, tidak rukunnya keluarga lantaran tidak melakukan mandi pesili pada saat perkawinannya.
Kini ia sadar akan kelalaiannya. Meski agak terlambat di saat ia bersuami untuk kedua kalinya dengan pria asal Mandar, Masriah ingin dimandi pesili dengan suami barunya bergelar Doktorandus yang menjadi olok-olokan orang di kampung. Karena di saat memperkenalkan dirinya kepada orang-orang di kampung pertama kali, sang Doktorandus memperkenalkan dirinya yang dimulai dengan gelarnya itu. “Kalau saya pak, Drs. salam”, ujar suami Masriah. Rupanya orang-orang di Nyerakat sensitif dengan istilah macam itu. Karena soal stigmatisasi bahwa orang kota punya pendidikan, sementara desa tempat menempa kehidupan dipandang sebaliknya.
Ritual samper terakhir hanya sekali muncul dalam pesta adat pada Desember 2005 lalu. Setelah itu oleh beberapa tokoh masrakat Bontang Kuala, samper tidak diperkenankan lagi untuk tampil karena itu bukan ritual yang sejak awal ada dalam rumpung suku Bontang Kuala.
Persolannya yang semakin menarik dan kompleks karena konon samper juga dilakukan oleh mereka yang mengaku suku Kutai. Tetapi bagi orang luar komunitas yang masih menjalankan ritual samper di kampung Guntung itu, dikabarkan memakai jin kafir dalam laku ritualnya. Kabar itu pula yang membuat tokoh masyarakat Bontang Kuala untuk tidak mengikutkan samper lagi dalam kegiatan pesta laut yang dikemas oleh dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Bontang.
Belakangan tokoh masyarakat Bontang Kuala, seperti H. Nasir Makkarakka yang juga pegawai di dinas Kebudayaan, tidak mau kegiatan yang sudah ada semenjak tahun 2000-an itu disebut pesta, lantaran dianggap istilah pesta terkesan poya-poya.
Pernyataan bahwa orang-orang Guntung yang melakonkan ritual samper dengan memakai jasa jin kafir ingin menguatkan bahwa orang-orang Nyerakat dan Bontang Kuala masih setia dengan apa yang mereka sebut sebagai sahabat (jin Islam). Argumen macam ini digunakan untuk menyatakan bahwa ritual bebalai dan ance tidak mencemari apalagi mendangkalkan agama. Bahkan boleh jadi, menjalani agama pada tingkatan tinggi seperti apa yang dikatakan pak Masdar sebagai ma’rifatullah.
Boleh jadi, stigmatisasi dari luar terhadap komunitas Nyerakat dan Bontang Kuala terletak pada interpretasi mereka terhadap apa yang disebut agama. Agama bagi mereka adalah praktik bagaimana manusia berbuat baik. Bukan bagaimana manusia mempraktekkan simbol-simbol peribadatan secara kaku. Sembahyang bukan untuk dipamerkan bagi manusia. “Sembahyang itu khan untuk bukti saja, dan kegiatan saja”, ujar Kumala.
Ketika ditanya adakah orang luar seperti penceramah agama yang menyinggung soal ritual bebalai. Mak Bian yang juga pelaku utama ritual menjelaskan bahwa selama ini belum ada yang dia ingat. Malahan kebanyakan menganjurkan supaya adat terus dipertahankan. Seperti anjuran seorang ustadz pada bulan puasa, bahwa agama dan adat berjalan bersama. “Biar juga mengerjakan adat, tetap juga sembahyang”, ujar sang ustadz seperti yang ditirukan Mak Bian. Meski demikian, ada saja yang menganggap bahwa ritual mereka adalah praktek iblis. “Kayak mereka lihat Iblis saja, ini karena mereka tidak paham saja”, lanjutnya.
Tak mengenal lebih jauh tentang ritual orang-orang Nyerakat jelas menjadi faktor utama tudingan yang bernada minor itu. Seperti yang dikisahkan Kumala. Ia mengaku menggunakan patung manusia yang menjadi syarat untuk pengobatan. “Penyakit jin kafir diganti (disimbolkan) dengan patung, baru kita bisa obati sambil dikatakan kesembuhan ini diganti dengan patung”, kata Kumala menyindir penceramah yang di radio yang kebetulan membahas patung. Baginya sulit menjelaskan kepada ustadz-uztadz itu karena kebanyakan dari mereka tidak mempercayai pengobatan ala bebalai ini. “Kebanyakan yang tidak percaya orang Muhammadiyah”, ujarnya.
Begitu juga pandangan Mak Bian terhadap para ulama atau ustadz yang sering menyindir ritual mereka sebagai penyakit TBC (tahayyul, bid’ah, dan khurafat). Tetapi Mak Bian mengaku tidak satu orang pun ulama yang pernah mengatakan bahwa laku ritual mereka mencemari ajaran agama Islam. “Ulama yang benar-benar ulama tidak pernah menyinggung soal adat ini, malahan menganjurkan supaya mempertahankan adat, ya kecualilah ulama-ulamaan dan ustadz-ustadzan yang sering mereka anggap sebagai praktik memanggil setan”, kata Mak Bian disambut tawa.
Bantahan yang sama juga datang dari Mak Kumala, yang mengatakan bahwa adat itu bukan hanya milik manusia biasa tetapi Tuhan dan Nabi sekalipun memiliki apa yang disebut adat. “Mana bisa dilarang, sedangkan Tuhan dan Nabi saja punya adat. Mana ada kita (manusia) jika Tuhan tidak memiliki adat”, kata Mak Kumala yang orang-orang kampung menyebutnya Mak Malak.
Bagi komunitas yang sudah campuran ini mengaku bahwa kampung mereka penuh dengan pesona kegaiban. Mereka meyakini kampung ini juga dihuni oleh orang-orang halus dan orang gelap. Tugas orang-orang kampung bagaimana memberi tahu (bersahabat) dengan mereka lewat ritual. Seperti kejadian yang menimpa mobil bouldoser pekerja jalan batubara yang macet tanpa akibat yang jelas. Setelah ditaburi beras kuning dan melepas satu ayam baru alat pendorong tanah itu bisa beroperasi kembali.
Lain bebalai, lain pula nurungkan (larung) pisang. Bebalai adalah ritual tahunan yang diperuntukkan bagi semua suku Bontang Kuala, yang saat ini terpencar-pencar di berbagai tempat, seperti di Nyerakat, pulau Selangan, dan di kota Bontang sendiri. Sementara nurungkan pisang menjadi ritual yang khusus buat keluarga yang mau membayar niat mereka yang pernah diobati secara adat, lalu diniatkan untuk melarung pisang ke sungai atau ke laut untuk persembahan kepada leluhur yang telah dijanjikan di saat pengobatan. Melarung pisang dilaksanakan setelah pasien dinyatakan sembuh.
Hubungan kuat antara roh leluhur sangat jelas terasa dalam benak komunitas suku Bontang Kuala ini. Saya menyaksikan bagaimana Mak Bian terlihat sedih ketika ia menceritakan bagaimana masa lalu orang tuanya dalam melaksanakan ritual. Terutama di saat bapaknya masih hidup yang mengobati orang dengan menggunakan tarian serta mayang dan mantra. “Saya kalau cerita seperti ini tidak tahan, saya rasanya sedih ingat bapak saya”, ujarnya.
Jelas terasa juga bahwa ritual ini kebanyakan berhubungan dengan roh-roh leluhur. Dan hampir semua yang saya ajak ngobrol tentang ritual mereka, selalu ada ungkapan yang mengatakan bahwa jika mereka tidak memelihara adat ini, pasti ada salah satunya yang tertimpa sakit keras. Itu sebagai balasan jika mengabaikan apa yang dulu pernah dipraktekkan oleh para leluhur mereka.
Kepercayaan atas leluhur ini menjadi ciri tersendiri bagi masyarakat Nyerakat di tengah gempuran modernitas yang menafikan nalar seperti ini. Konon mereka punya keturunan dan punya leluhur seperti buaya. Entah seperti apa riwayatnya. Tetapi menurut mereka manusia punya hubungan dengan buaya. Menurut keyakinan mereka bahwa dulu ada leluhur yang punya keturunan buaya.
Hal itu dapat dikenali di saat upacara berlangsung. Orang-orang yang terlibat dan punya hubungan dengan roh leluhur biasanya ia lalu trance, sambil menari-nari. Keturunan mereka dikenali dengan gaya masing-masing. Jika ia menari seperti buaya, maka akan disebut punya hubungan leluhur dengan buaya. Dalam keadaan trance seperti itu, orang-orang dapat berkomunikasi secara langsung dengan roh-roh leluhur mereka.

Pertemuan tafsir

Kebanyakan penduduk Nyerakat berasal dari suku Bontang Kuala. Tidak sedikit dari mereka lalu kawin-mawin dengan suku yang bukan dari kalangan mereka. Pertemuan ini membuat ragam interpretasi tentang agama. Perlakuan terhadap anjing misalnya. Seorang perempuan muda bersuku Banjar mengaku selalu memperingati suaminya yang asli Nyerakat, agar menjauhi anjing karena mahluk seperti itu adalah najis.
“Bagi saya, anjing selain karena banyak virus penyakitnya ia juga dinyatakan najis oleh agama”, ujar Janar yang beranak dua. Tetapi apakah pandangan dia sama dengan yang lainnya. Bagi sebagian warga, anjing dijadikan binatang piaraan untuk dijadikan sebagai penjaga kebun.
Selain tafsir agama tentang keseharian seperti anjing, tafsir mengenai ritual juga dikelolah dengan apik oleh koumintas ini. Bebalai dan ritual lainnya semisal membuang pisang selalu diakhiri dengan membaca doa-doa ala Islam. Suatu saat saya menyaksikan ritual membuang pisang diakhiri dengan membaca doa-doa Islam. Ritual ini dilakukan untuk membayar niat setelah sembuh dari penyakit yang diderita.
Jika Kumala bermantrakan bahasa yang selain Arab, pak Masdar mengakhiri dengan do’a yang dimulai dengan pembacaan al-Fatihah lengkap dengan do’a selamat dunia dan akhirat. Doa juga sebagai penyempurna dari rangkaian ritual. ”Mana bisa kalau tidak ada do’anya, kalau membuang pisang tanpa do’a, ya sama saja membuang sandal begini tanpa makna apa-apa”, ujar Mak Malak sambil menunjuk sandal yang dimaksud.
Entah sejak kapan do’a-do’a ala Islam ini dilakukan. Yang jelas sudah lama. Menurut pemimpin utama bebalai ini, sudah sejak dulu do’a untuk menyudahi berbagai ritual yang ada di kampung ini dilakukan. Riwayat tentang berdo’a juga menarik dilihat karena di sana ada semacam ragam do’a yang dipanjatkan. Salah satunya memohon kepada Tuhan agar acara ini diberikan pahala dan diberi berkah serta keselamatan bagi semua yang hadir dalam ritual.

Komodifikasi kebudayaan dan negosiasi

Salah satu pilar pembangunan yang dicanangkan pemerintah kota Bontang adalah pengembangan kawasan yang disebut sebagai Bontang Lestari. Dalam memenuhi ambisi tersebut, maka kawasan yang memiliki 18 RT yang dulu dikenal sebagai desa Sekambing dijadikan sasaran pembangunan.
Seiring dengan pengembangan kawasan Bontang lestari yang ditandai dengan dibangunnya sarana infrastruktur semisal gedung DPRD, dan stadion utama kota Bontang, dan perumahan KORPRI di sekitar Nyerakat, pemeritah daerah juga punya keinginan untuk memberdayakan masyarakat lewat pengembangan kebudayaan tradisi.
Desa-desa yang sejak tahun 2000-an diubah menjadi kelurahan ini, mulai dilirik dan diinstruksikan untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang dulu pernah ada. Bahkan kalau bisa menciptakan kesenian baru yang dapat menjadi tontonan yang menarik.
Pada pertengahan Februari 2007 lalu, pemda Bontang melalui pak Anas, salah seorang staf kelurahan mendatangi rumah Kumala (seorang yang selama ini eksis memelihara ritual dan tradisinya). Ia meminta untuk meningkatkan kembali acara adat dan menghidupan lagi tarian jepen, kuntaw (pencak silat), terbangan, hadrah, dan qasidahan. Bahkan ia juga menawarkan renovasi rumah ibu Kumala, agar kegiatan ritualnya lebih ditingkatkan lagi.
“Kegiatan apa saja mau disuruh semua”, ujar Kumala. Tetapi bagi Kumala dan keluarga tidak menjadi soal. “Biasa aja, kalau dibantu pemerintah ya syukur, kalau tidak ya tidak apa-apa juga”, kata Kumala. Namun baginya dibantu atau tidak acara adatnya tetap harus jalan. Bagi Kumala, komunitasnya bukannya tak mengerti apa yang diinginkan oleh pak lurah itu. Kumala malah menyebut mungkin saja pak lurah dapat penghargaan juga kalau adat jaman bahari di putar ulang lagi.

Mencari gong

Gong pemberian pariwisata jelas tidak dapat digunakan dalam upacara ritual bebalai. Pasalnya bunyi gongnya tidak sesuai yang selama ini dipakai. Sementara peralatan seperti gong, kelintangan sudah tidak layak pakai.
Untuk memenuhi kesempurnaan upacara, pada pertengahan Februari 2007 silam, pak Masdar bertandang ke tanah hulu, demi mencari alat-alat upacara bebalai yang sudah mulai rusak. Ia tidak ingin lagi orang lain yang mencarikan peralatan upacaranya, karena sudah pasti salah. “Kita tidak ingin lagi seperti pemberian pariwisata yang tidak rasuk (trance)”, ujar Kumala.
Dan di Bongan, Kutai Barat, ia mendapati seperangkat alat upacara yang sudah mulai tidak dipakai oleh pemiliknya yang tak lain masih keluarga pak Masdar. Alat-alat itu bernada dan berbunyi sama yang selama ini mereka gunakan. “Saya ambil alat-alat itu, seperti gong, kelintangan, dan gendang karena tidak ada lagi penerus buyut saya itu. Tetapi saya berikan mereka uang, karena saudara mama saya ada sepuluh bersaudara, makanya tiap orang dapat satu juta”, ujar pak Masdar, seorang pria asal tanah hulu yang dulu pernah menjadi salah satu anemer (bos) waktu banjirkap (1966-1969). Ia juga mengaku meski alat-alat upacara yang dulu digunakan hampir sama dengan bebalai, ia tetap juga masih meneruskan tradisi yang sudah dilakukan sejak lama, walau tempatnya sudah di Bontang, tepatnya di Nyerakat.
Ibu Kumala tidak terlalu mau ambil peduli dengan janji pemerintah lewat kelurahan, yang katanya akan membantu pembelian peralatan upacara. “Saya sudah punya niatan untuk membeli alat-alat itu, meski saya harus cari sendiri uangnya”, kata Kumala, yang mengaku menjual tanahnya khusus untuk alat-alat ini.
Soal pembelian alat-alat upacara bebalai, belakangan pemerintah kota lewat kelurahan Bontang Lestari rencananya akan memberi bantuan Rp. 5.000.000,-, atau setengahnya dari harga total untuk pembelian alat-alat bebalai. Suatu hari di akhir Maret 2007, saya menemani pak Masdar dan mak Kumala menemui pak Anas di rumahnya di Nyerakat Kiri.
Dalam pertemuan itu, pak Anas menjanjikan bantuan untuk membeli perlengkapan bebalai. “Jika sudah mau berangkat ke tanah hulu, beri tahu sebelumnya supaya bisa disiapkan juga uangnya”, janji Anas kepada mak Kumala. Di saat itu juga, staf lurah yang bersuku Bugis itu mengaku akan membina budaya yang muncul dalam lingkungan kelurahan Bontang Lestari. “Siapa yang muncul itu akan kita bina, kesenian apa saja, misalnya jepenan, hadrah, dan lainnya kita akan selalu memperhatikan, seperti adat bebalai punya mama ini benar-benar ada dan saya menyaksikan sendiri”, ujar pak Anas.
Untuk saat ini, di Nyerakat belum terdapat rancangan yang jelas untuk kesenian dan ritual bebalai. Pak Anas hanya ingin membina dan mengangkat budaya yang sudah muncul. Jika pak Anas mengenal apa yang disebut ritual adat bebalai, pak Lurah malah sebaliknya tidak mengenalnya, terbukti ketika ditanyai tentang ritual Bebalai mengaku tidak mengenal. “Oh, ada ya yang kayak begitu (ritual bebalai red. di Nyerakat”, kata pak Lurah yang tidak berani memberi data-data kepada saya karena tidak mengantongi surat izin dari pemkot Bontang.

Ritual untuk menyenangkan orang halus dan negara

Ritual bebalai yang sudah dilakukan sejak lama diyakini sebagai penyeimbang dalam pandangan kosmologi orang-orang rumpung Bontang Kuala. Karenanya masyarakat seperti di Nyerakat dan sekitarnya akan berbuat apa saja untuk tetap memastikan ritual ini tetap eksis dan berlangsung. Seperti harus menjual sebagian tanah mereka untuk keperluan mengganti alat yang sudah tak layak pakai.
Ada juga cara lain yang mereka tempuh. Salah satunya adalah mengikuti ajakan pemerintah untuk ikut dalam apa yang disebut sebagai pesta laut Bontang yang diadakan semenjak tahun 1996, dan lebih marak lagi ketika masa otonomi daerah. Ritual yang ditujukan buat roh-roh leluhur dan para sahabat itu tidak semestinya dipamerkan dalam ruang pertunjukan semisal pesta laut Bontang Kuala yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Bontang.
Tetapi mak Bian misalnya mengaku mengikuti ajakan itu supaya negara tidak mengganggu ritual yang mereka lakukan. Jadilah pesta adat yang dilakukan oleh pemerintah yang di dalamnya ritual bebalai hanya main-main saja. “Yang sebenar-benarnya ritual ya seperti yang diadakan di Nyerakat setiap tahunnya”, ujarnya.
Meski demikian, mak Bian mengaku sepulang dari bebalai yang “main-main” itu harus meminta maaf kepada roh-roh leluhur dan sahabat (mahluk halus). “Ya kita ikuti saja ajakan pemerinyah supaya mereka jangan melarang acara kita, apalagi ada pitisnya (uang)”, kata mak Bian sambil tertawa geli.
Main-main yang dimaksud mak Bian tentu bukan sepenuhnya main-main, yang sama sekali tidak membawa makna ritus apa-apa. Main-main yang juga dilakukan serius itu, untuk meyakinkan pihak negara bahwa mereka punya ritual yang sudah eksis sejak lama yang tentu mengharap juga diakui perannya sebagai bagian dari cara menghayati hidup, dan tak perlu dianggap sebagai praktik yang menyalahi ketentuan apapun.
Jika di Nyerakat mereka melakukan praktik memperlakukan orang halus supaya jangan mengganggu manusia, di Bontang Kuala yang bertema pesta laut juga diyakini untuk mengusir roh-rohnya para aparatus negara jangan sampai menghalangi kegiatan adat.
Bagaimana praktik bebalai dalam kemasan pesta laut yang diselenggarakan di Bontang Kuala dengan bebalai yang ada di Nyerakat. Dua-duanya dilakukan untuk mengobati pasien bagi siapa saja yang berkeinginan untuk berobat. Selain berobat untuk kesembuhan tubuh manusia, juga diyakini dapat menjaga ekosistem alam. Apalagi Bontang Kuala dan sekitarnya dipenuhi oleh hutan mangrove yang tetap harus dipastikan lestari yang salah satunya melalui ritual bebalai meski itu terkesan dipesan oleh pihak pemerintah kota Bontang.
Yang menarik lagi, tahun ini rencananya bebalai tidak lagi sendiri, tetapi akan ditemani tari-tarian seperti tari gantar dari Tenggarong. Selain gantar yang direncanakan oleh pak Masdar, terdapat juga tari jepen dari pak Kasim, salah seorang tetua kampung Nyerakat yang juga masih kerabat mak Kumala. “Saya sudah bilangi pak Kasim supaya nanti kita ramai-ramai acara tahun ini”, ujar Masdar.
Boleh jadi hal ini menjadi salah satu strategi untuk tetap memastikan bahwa ini menarik, ramai, dan diminati. Tapi meski demikian, yang utama dalam ritual ini tetap menjaga fungsinya untuk menenangkan orang halus agar tidak lagi membuat manusia sakit.

Medis dan tradisi

“Secara pribadi saya tidak sepakat dengan model pengobatan seperti dukun, namun saya juga tidak bisa melarang orang untuk pergi berobat ke dukun. Orang-orang di kampung pun tahu bahwa saya ini hanya jam kerja saja ada di puskesmas. Sementara dukun, dia bisa dua puluh empat jam”. (dr. Endang, dokter pukesmas pembantu Nyerakat).
Sejak tahun 1993, puskesmas pembantu mulai hadir di tengah masyarakat Nyerakat. Namun baru 7 tahun terakhir beroperasi secara aktif, seiring dengan perbaikan akses jalan masuk ke Nyerakat. Dan sudah sejak lama pula orang-orang kampung, bahkan seluruh kampung-kampung yang ada di sekitar Nyerakat memakai jasa pengobatan mama Kumala dan suaminya. Bukan saja satu macam penyakit, tetapi mak Kumala juga dikenal sebagai dukun beranak.
Kehadiran puskesmas pembantu di Nyerakat tidak membuat peran mama Kumala ditinggal orang. Bahkan suatu ketika pukul 04.00 Wita subuh, pintu rumah diketok-ketok oleh orang yang meminta jasa Kumala untuk persalinan. Seingat saya, selama seminggu rata-rata ada 4 orang yang datang mengetok pintu di tengah malam untuk meminta batuan mama. Ada yang beranak, sakit panas, ada juga yang muntah-muntah. Semua dilayaninya dengan penuh kesabaran dan keteguhan.
Harus diakui bahwa peran mama bukan hanya sebagai dukun yang datang untuk mengobati. Tetapi ia juga sekalian menjadi simbol pengharapan atas penyembuhan segala penyakit. Bukan hanya penyakit jasmani, tetapi bisa jadi juga penyakit kejiwaan. Sepertinya ia bak seorang psikolog yang dapat menenangkan jiwa.
Bagi masyarakat Nyerakat, kehadiran puskesmas pembantu tidak menjadi soal. Malahan bagus. Tetapi mereka tidak sepakat jika kemudian laku ritual pengobatan yang sudah ada sejak dulu, dianggap tidak memiliki peran apa-apa. Apalagi jika sampai ada program yang ingin menghapus praktik pengobatan ala orang-orang Nyerakat ini. “Dua-duanya tidak bisa dihilangkan, kalau tidak bisa di dokter ya di dukun”, kata mak Bian yang mengaku memakai dua jasa pengobatan tradisi dan medis. Bahkan menurutnya, dukun lebih berperan banyak daripada dokter. Dukun bisa dipanggil ke mana-mana, sementara dokter tidak memiliki kebiasaan mengunjungi pasiennya.
Seringkali praktik pengobatan yang diyakini oleh masyarakat suku Bontang Kuala, dituding tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Tetapi bagi masyarakatnya malah sangat masuk akal. Mak Bian dapat membuktikannya, bahwa hal itu masuk akal. Pernah saudaranya, namanya Beda hampir satu tahun mengidap penyakit sakit kepala. Sudah berkali-kali dibawa ke puskesmas, diberi obat segala macam tidak juga sembuh. Seterusnya dibawa ke dokter di kota Bontang juga mengalami hal yang sama.
Dalam diagnosa dokter, Beda dinyatakan tidak mengidap penyakit apapun. Di puskesmas ia juga pernah diberi obat, tetapi selama ia mengkonsumsi obat itu malah berefek pada penglihatannya yang kabur. Ia mengaku hampir satu kilo makan obat dari puskesmas, tidak juga kunjung sembuh. “Tetapi entah bagaimana setelah diobati lewat bebalai sampai hari ini ia tidak lagi sakit”, ujar mak Bian.
Bukan hanya itu, sudah sangat banyak bahkan tak terhitung pasien yang sembuh lewat praktik ritualnya mama Kumala. Lalu bagaimana bisa disebut tidak masuk akal jika sudah terbukti seperti itu?.
Menanggapi soal program pemerintah lewat Bontang Sehat atau yang dikenal dengan program dokter keluarga, masyarakat di Nyerakat merasa oke-oke saja. Jika ada penyuluhan tentang bagaimana hidup sehat ya itu malah dianggap bagus. “Bagus jika ada program seperti itu, jadi masyarakat tahu apa itu kesehatan, disesuaikan dengan bagaimana kami memahami tentang kesehatan”, kata Edi.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh mak Bian, bahwa itu pandangan dokter, meski juga kita tahu bagaimana cara hidup bersih dan sehat. “Ya itu menurut dokter, ada juga cara-caranya bagaimana cara hidup sehat, tetapi kan kami juga punya bentuk-bentuk bagaimana berobat, bersih diri dan kampung”, jelasnya.
Ada juga pandangan lain dari warga. Menurutnya program sehat keluarga itu sepatutnya bukan hanya ditujukan kepada masyarakat. Dokter dan bidan, bahkan lingkungan puskesmas sepatutnya menjadi contoh bagi masyarakatnya. Jika perlu mereka juga harus belajar cara bagaimana belajar sehat dari masyarakatnya.
”Saya pernah mengusulkan kepada mbak suster yang bertugas di puskesmas pembantu agar jangan membuang sampah terlalu dekat dengan ruangan puskesmas, apalagi mereka membuang bekas suntikan secara sembarangan di belakang puskesmas, itu kan tidak sehat. Apalagi saya pernah melihat anak-anak bermain-main bekas suntikan itu”, ungkap salah seorang warga yang tinggal di dekat puskesmas. Menurutnya, pusksmas itu tidak berlingkungan sehat. Buktinya pengelolaan sampah dan seringnya anjing keluar masuk dalam puskesmas.
Konsepsi tentang apa yang disebut sehat jelas berbeda antara orang-orang Nyerakat dengan konsep para medis. Mak Bian yang juga salah seorang warga Nyerakat mengaku punya cara sehat tersendiri. Misalnya saja, bagaimana kita mengahargai orang-orang halus (mahluk halus). Jika menebang pohon diharuskan melakukan ritual hambur beras kuning, supaya penghuni pohon tidak marah dan mengganggu manusia. “Ya cara sehat yang baik pertama-tama memelihara adat”, ujar mak Bian.
Bagi mak Bian dan warga lain, penyakit bisa saja akibat tubuh manusia yang tidak seimbang akhirnya menjadi sakit. Tetapi juga pengaruh dari luar seperti orang-orang halus. Bisa juga dari leluhur yang menegur dan menagi mereka karena mulai tidak melaksanakan ritualnya. “Jika ritual adat lama tidak dilakukan, ada saja di antara keluarga kami yang sakit”, kata mak Beda. Keseimbangan kehidupan alam, termasuk tubuh manusia dapat dicapai melalui pelaksanaan ritual bebalai dan yang lainnya.
Pandangan kosmologi orang-orang Nyerakat menyebut bahwa ritual dapat menyeimbangkan segalanya. Penghuni sungai, karang, laut, hutan, bisa ditenangkan dengan ritual bebalai dan memberi makan kampung. Menghambur beras kuning menjadi salah satu cara untuk menenangkan orang-orang halus supaya tidak menggangu manusia. Hal itu pula yang menjadikan komunitas ini menjadikan warna kuning menjadi tanda pertemanan dengan mahluk halus. Jangan heran, di Nyerakat terdapat di setiap sudut rumah bendera warna kuning berukuran kecil, tinggi sejengkal sebagai tanda persahabatan bahwa rumah itu tidak diganggu oleh mahluk halus.
Kenyataan ini membuktikan bahwa negara seringkali keliru dalam memandang masyarakatnya. Salah satunya dilihat dari rencana program dokter keluarga di Bontang. Bagi pemerintah, posisi masyarakat adalah sebagai kelompok yang mesti diajari dan diberi pemahaman tentang bagaimana konsep bersih dan sehat. Padahal mereka juga punya konsep bersih dan sehat yang berbeda sama sekali dengan konsep pemerintah. (Im).





Baca Selanjutnya.....